Alkisah, seorang guru yang merasa waktunya berpulang sudah dekat, mulai mempercepat persiapan kematiannya, hingga tersisa satu yang belum selesai. Menunjuk 1 orang yang paling tepat dari 1000 muridnya untuk meneruskan majelis mereka. Hanya satu diantara seribu yang akan memperoleh sertifikat mengajar, selain semuanya menerima sertifikat kelulusan.
Hari itu dikumpulkannya seluruh siswa di pendopo tempat mereka biasa berzikir bersama. “Semua boleh libur selama seminggu, melepas rindu dengan orang tua dan kerabat kalian. Tapi sekembali dari sana, aku kepingin dibawakan oleh-oleh terbaik dari kampung kalian, bawakan saya apa saja yang tidak akan memberatkan.”
Seminggu berlalu, murid-murid sudah mulai berdatangan kembali. Ada yang membawa telur, itik, ayam, kambing, domba, sapi, sayuran, jangung, sagu, beras, ada yang bawa kereta angin, sepeda motor, bahkan mobil. Semua bawaan mereka dikumpulkan di depan pendopo, di dalam sang guru sudah menanti. Satu persatu masuk bersalaman dengannya.
“Aku membawa kereta angin, hasil rakitanku sendiri dan ayahku, agar saat ke surau kaki guru tidak berdebu.” kata murid yang membawa sepeda.
“Aku membawakan sepeda motor yang aku beli dari hasil panen coklat keluarga kami, agar guru dan muadzin yang tinggal di surau kita, bisa lebih seru lagi berlomba memegang corong “siapa lebih dulu azan dan siapa yang harus jadi imam.”
“Maaf guru, mungkin agak berlebihan bila aku membawakanmu mobil. Tanah warisan dari ayahku di kota baru saja dibeli seorang pengusaha, aku ingin guru tidak kepanasan dan kehujanan lagi saat harus keliling kampung diundang memberi tauziah..”
Satu-persatu, hingga akhirnya hanya tersisa seorang murid yang belum menyerahkan oleh-olehnya. Dia menunduk kelu di pojok pendopo memegang setangkai mawar.
Sang guru yang datang menghampirinya, “Kamu membawakan aku apa dari kampungmu?”
“Keluarga kami punya sepetak kecil taman mawar di kampung. Saat tak di sana, ibuku yang merawat dan menyiramnya. Setiba di rumah minggu lalu, mawar-mawar kami berbunga dan mewangi, seolah menyambutku pulang. Ingin kupetik beberapa tangkai, buah tangan untuk guru, tapi aku tidak sanggup..” dia terhenti, sesenggukan.
“Aku hanya bisa membawakan guru setangkai mawar, yang kupetik saat sudah layu. Dia sudah berhenti berzikir, sementara kawan-kawannya yang lain masih memuji-muji Tuhan dengan wangi,” tangisnya pecah.
Sang guru memeluknya, “Lanjutkanlah majelis kita ini, aku sudah bisa beristirahat dengan tenang.”
_____
Sumber: Blog pribadi, “Setangkai Mawar“
Keterangan Foto: “Mawar 3“