Tentang Penulis.

Belajar melukis di sanggar Seni Rupa Benteng Ujungpandang dari tahun 1985 hingga 1991. Bertetangga dengan Ros Magdalena dan suaminya di jalan Dr. Sam Ratulangi Makassar, sejak dilahirkan sampai tahun 2011.

Meneruskan belajar melukis pada suami Ros Magdalena di Sanggar Seni Rupa Ali Walangadi dari tahun 2003 hingga 2005. Bukan belajar teknik melukis tingkat lanjut, hobi seni rupa bukan profesi ketika itu, ingin mengenal sosok suami Ros Magdalena sebagai perupa sepuh, yang mengamanatkan penulisan biografinya kepada kami dan penyair Muhary Wahyu Nurba.

Menikmati hobi menulis nanti tahun 2004, usai membaca “Memoar Veteran Pejuang Kemerdekaan Pada Sahabatnya” tulisan suami Ros Magdalena, sebelum disetor ke editor buku “Husni Djamaluddin yang Kami Kenal”. Buku kumpulan tulisan, hadiah ulang tahun untuk penyair Husni dari sahabat-sahabatnya.

Penyair Husni Djamaluddin berpulang beberapa hari sebelum acara peluncuran buku kumpulan tulisan, hadiah ulang tahun dari sahabat-sahabatnya. 

Selain tulisan mendiang suami Ros Madalena, penyair Muhary Wahyu Nurba, Emha Ainun Najib, yang ternyata kerap menemui Husni Djamaluddin di Mandar juga menulis, dan tulisan Taufiq Ismail “Husni Djamaluddin Bergabung dengan Kehendak Allah Saja” menyentuh ruang khusus dalam hati.

Tulisan mendiang suami Ros Magdalena mempertontonkan kekayaan warna cakrawala pikir dan rasa, yang hanya mungkin dimiliki mereka yang kenyang mengalami kegetiran hidup.

Bergerak tegas serempak bak senam pagi tentara di barak, selentik jari penari tari ‘Pakarena’, mawar itu/ kaulah itu/ sayangku//. Menyusupkan keliaran tabuhan gendang ‘Tunrung Pakanjara’ saat bersenandung “Tra la la, tri li li, tai di di”  (artinya serupa: ‘dubi dubi dam dam dumb shit’).

Tulisan yang menyadarkan, belum mampu memenuhi amanatnya yang unik. Menulis biografi berisi kesalahan, keburukan, dan kegagalannya saja. 

Tanpa tahu kapan mau mulai menulis, tetap mengumpulkan data dan momen. Semesta pun seolah belum setuju, penyair Muhary Wahyu Nurba ditakdirkan pindah ke Lombok, dan kami menemani Ibu menikmati hari tua di tanah kelahirannya, di Batang Gadis, Tanah Datar, Sumatera Barat, dari tahun 2012 hingga beliau berpulang di sana tahun 2017. 

Mendiang suami Ros Magdalena membayangkan hubungan kami dengan penyair Muhary Wahyu Nurba setelah menyelesaikan biografinya, kelak serupa hubungannya dengan penyair Husni Djamaluddin. Seperti pelukis Nazar dan penyair Chairil Anwar, atau Van Gogh dengan Gauguin. 

Hubungan kami lebih unik. Pada kisah persahabatan penyair dan pelukis lainnya, belum ada yang melibatkan ibu mereka.

“Belum pernah telepon saya ditolak dengan ketegasan yang menegaskan kata ‘tidak’ adalah kalimat utuh. Kata ibumu, ‘Kau Muhary? Aan baru tidur habis subuh. Saya masih sibuk tidak bisa bangunkan. Sudah ya.’ Belum sempat meminta maaf mengganggu, teleponnya berbunyi ‘klik’. Maafku tidak dibutuhkan.” 

Di waktu yang lain saat berkunjung dengan wajah muram, entah dirundung apa, mendiang ibu kami menyampaikan satu nasihat singkat, “Hidup itu seperti cermin, kalau kau murung begini, murung pula hidupmu nanti.”

Awal tahun 2019 ditakdirkan pulang ke Makassar, setelah dua tahun lebih berikhtiar di Jakarta. Kemudian menyusul pandemi covid-19 yang  ikut merombak rencana hidup, tetapi bukan tujuannya.

Menjelang akhir tahun 2021, kami memutuskan melaksanakan amanat mendiang suami Ros Magdalena. Menyesuaikan dengan kenyataan, tuntutan dan tuntunan. Tetap menjaga amanat memulai dengan yang bisa kami tulis sendiri, tanpa penyair Muhary Wahyu Nurba yang bermukim di Lombok, dan tanpa menceritakan keburukan seseorang yang telah berpulang.

Saat membuka kembali catatan-catatan dan arsip bahan menulis biografi, kami menemukan di antara kegagalan, keburukan, dan kesalahan, terpancar keindahan dalam kisah hidup mendiang istri dan kekasihnya, Ros Magdalena, yang kini kami rangkai menjadi sebuah novel biografi.

Dukungan

Setiap dukungan berarti

Kolaborasi

(dalam pembuatan)

Hubungi Penulis

Mari terhubung