Pantaskah batu karang menjadi contoh ketabahan mengarungi hidup, ia memang tak bisa kemana-mana saat ombang melarung.
Pantaskah batu karang menjadi contoh kesabaran menerima takdir, tanpa kemampuan mengeluh atau memilih bersikap bagaimana terhadap takdirnya.
Mendiang suami Ros Magdalena kerap menggunakan metafora ‘batu karang’ ketika menggambarkan ketabahan, kesabaran, dan kesetiaan.
Gambaran yang diaminkan Ros Magdalena. Menemani suaminya berjalan di samping, di belakang, di depan, di atas, di bawah, hampir ke semua arah mata angin, utuh 360 derajat menurut sumbu X, Y, dan Z, membentuk bulatan hidup mereka.
Batu karang, metafora mendiang yang kami pertanyakan kembali, ketika mengalami situasi yang menuntut ketabahan, kesabaran dan kesetiaan pada nilai pegangan, sebelum ketiganya mulai menjadi bagian dari karakter. Walaupun, berbeda sebab, proses maupun tujuan, antara yang kami alami dengan yang Ros Magdalena dan suaminya alami (semesta mengkostumisasi agar sesuai dengan individu yang akan dan sedang mengalami), tetap berlaku hukum yang sama, mereka yang tidak mengambil pelajaran sebagai bekal bertumbuh, secara sadar telah memilih mengulang nasib yang sama.
Awalnya, menurut kami, memilih bertumbuh lebih banyak membutuhkan kesabaran, ketabahan, dan kesetiaan pada komitmen, ketimbang mengulang nasib yang sama. Setelah mengenal sosok Ros Magdalena, ternyata sama sulit. Beberapa hal dalam hidup memang ditakdirkan tidak berubah demi menjaga keseimbangan semesta. Cuma sedikit manusia yang memainkan peran tersebut dengan baik.
Mendiang suami Ros Magdalena pernah mengungkapkan impiannya sebelum berpulang. Impian yang tidak tercapai menurut keinginan mendiang, tetapi menurut keinginan-Nya.
“Aku ingin akhir hidupku seperti lilin ini. Menyala paling terang sesaat sebelum padam,” katanya pada suatu malam di rumahnya saat mati listrik. Ia ingin membuat perubahan total, memperbaiki sederet kegagalan dan kesalahan, yang menurutnya akan berhasil setelah mendapatkan uang royalti yang dijanjikan. Royalti tak terbayar, setelah ia menandatangani surat yang salah dengan mata buram oleh katarak. Kenyataan yang sebenarnya tidak membuatnya gagal meraih impian. Ia justru sedang dibantu Tuhan menyala terang sebelum berpulang, bercahaya melalui keikhlasan menerima kenyataan dan takdir. Momen di mana ia melampaui ketabahan batu karang, metafor kesukaannya.
Andaikan suami Ros Magdalena tetap memegang wujud ‘nyala terang’ harus berupa sejumlah uang yang akan ia gunakan ‘membeli’ simbol-simbol keberhasilan dan kesuksesan, ia redup paling redup tepat sesaat sebelum padam.
Mereka yang sedikit itu, yang berkomitmen pada pertumbuhan atau yang setia dengan pengulangan, hanya akan mengalami ‘supernova’, ledakan bintang di alam semesta sesaat sebelum musnah, memancarkan cahaya, gelombang dan energi yang indah, jika dan hanya jika telah memiliki kesetiaan pada nilai, bukan pada person atau simbol-simbol.
Kisah demikian telah berulang kali dialami umat manusia, dan selalu hanya sedikit yang mampu setia pada nilai, lebih banyak yang setia pada simbol-simbol, baik yang berupa materi maupun person.
Ketika baginda Nabi Muhammad salallahualaihiwassalam berpulang, Umar bin Khattab meradang mengungkapkan kesedihan dengan sedikit berlebihan, yang membuat Abu Bakar bangkit dari kesedihan dan berucap kepada semua yang ada, “Barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya beliau telah wafat. Akan tetapi, barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Mahahidup dan tidak akan pernah mati.”
Pada pembangkangan Iblis terdapat pesan yang sama, lebih memilih simbol ketaatan berupa prestasi dan prestise jadi penghulu surga, ketimbang memilih taat itu sendiri. Kesalahan yang ia yakini sebagai kebenaran dan berhasil ia tularkan pada Adam dan Hawa hingga terusir, yang masih terus ia lakukan sampai hari akhir.
Apakah Ros Magdalena yang memilih tabah, sabar, dan setia pada nasib yang sama, juga berhasil meraih ‘terang paling terang’ seperti suaminya?
Novel biografi Ros Magdalena akan berkisah tentang itu dan tentang ketabahan batu karang.
_____
Keterangan Foto: “Setabah Kelapa 1, 2004“