Setahun Widya Fitra Walangadi
Selahat dengan Ros Magdalena ibunya. 05/08/2022

Se(puluh)tahun Sudah

Dua putra Ros Magdalena, yang bungsu dan kedua dari bontot akrab dan dekat dengan kami. Saking dekatnya, di hari akan berpulang keduanya berusaha menghubungi lewat telepon. Sekadar berbincang ringan, tanpa pesan kalau sebentar lagi mereka akan meninggalkan dunia. Suaranya segar, kami saling bertukar umpatan dan makian penuh semangat.

Putra bungsunya, terinfeksi HIV di penjara lewat jarum suntik yang dipakai ramai-ramai sesama terpidana, ketahuan tiga tahun sekeluarnya dari penjara. Menjelang tengah malam ia menelepon ingin bernostalgia, mengenang saat memuncaki gunung Bawakaraeng untuk pertama kali saat ia masih sekolah dasar.

Ia juga teringat, mestinya hari itu tidak tertangkap sedang membawa ganja pesanan orang kemudian masuk penjara dan pakai putaw di dalam, kalau patuh menutup outlet di Latanete Plaza, tugasnya setiap magrib.

Lepas Isya belum muncul, terpaksa kami membeli gembok baru. Malam pukul 10, kami menerima kunci outlet dari kakaknya, katanya diantar seorang petugas polres pelabuhan yang menangkap adiknya dengan barang bukti ganja 50 gram di bawah sadel motornya.

Pilihan manapun yang diambilnya semua takdir, mengunci outlet atau membantu bandar kenalannya. Jika meninggal karena terinfeksi HIV adalah takdirnya, maka ia tetap akan menjadi ODHA (orang dengan HIV AIDS) walau bukan dari jarum suntik bekas sesama terpidana.

“Tetapi kenapa HIV? Bukan yang lebih keren? Mati membela kebenaran misalnya.”

“Andai tidak positif HIV, kau belum tentu mau berhenti menyentuh narkotika, belum tentu mau maksimalkan beberapa tahun sisa umurmu bahagiakan ibu bapak,” jawabku.

Untuk membantunya menerima kenyataan, kuceritakan kisah orang tua ketemu besar kami yang satu lagi. Dokter menjatuhkan vonis berdasarkan data statistik, kurang dari seperseratus persen pasien kanker stadium 4 yang kembali sehat. Seperti kami dan kerabat terdekatnya, mungkin juga terpidana hukuman mati, merasakan hal yang sama, gamang dengan usia yang jelas temponya. Mendadak terlihat begitu banyak yang belum selesai dan tidak punya cukup waktu. Ketika mengeluhkan batas waktu kepada putranya yang menjelaskan, lebih beruntung mana dari segi waktu bersiap, mereka yang mati mendadak tertabrak mobil di tengah jalan dibandingkan yang masih punya waktu setahun persiapkan kematian dengan tanggal lebih pasti.

Ia menangis. Lelaki kelahiran tahun 1997 yang telah melalui hal yang membayangkannya saja membuat kita bergidik, terisak.

“Kenapa menangis?” Tanyaku tanpa iba.

“Apa yang bisa kubawa bekal hidup di sana? Tidak ada!”

“Ada. Saya saksi.”

“Apa?”

“Pertama. Bulan puasa pertamamu ikut bantu-bantu di studio sablon, kau dapat hadiah sajadah, sarung dan kopiah karena sebulan penuh puasa dan tarwih.”

“Saya masih anak-anak, belum terhitung.”

“Kedua. Sekeluarmu dari penjara, kau sudah dewasa. Bulan puasa juga, selepas tarwih sampai sahur di luar, kau yang mencari dan meneruskan zakat, infak dan sedekah untuk panti asuhan, masjid-masjid yang sedang dibangun, gelandangan dan pengemis di pinggir jalan.”

“Tetapi uang ta!”

“Bukan uangku, memang uang yang harus diterima orang-orang yang kita temui malam itu. Keuntungan proyek terakhir terlalu besar, 30% dari 700, hakku cuma 10%, yang 20% sisanya untuk membersihkan semua yang terlibat dalam proyek. Tanpa bantuanmu, uang itu sudah jadi darah daging kami semua.” Jawabku mengingat proyek infrastruktur TI terakhir yang kami ambil sebagai rekanan pemilik proyek. Mengingat bagaimana sulitnya menahan dorongan uang buruk yang ingin berkumpul bersama keburukan lainnya, sampai sekarang tidak main proyek, kecuali menjadi tenaga ahli, yang waktu, tenaga, dan keahlian dibayar langsung kontraktor pemenang pekerjaan. Tidak berurusan dengan tagihan, komisi, penundaan pembayaran, pelicin, entertain dan lain-lain.

“Terima kasih Uda.”

“Sama-sama. Kita hanya laksanakan tugas. Kenapa kau yang terpikirkan bisa kupercaya untuk kerjakan?”

“Alhamdulillah! Lebaran dengan celana dan baju baru waktu itu! Ini, Kakak mau bicara, saya mau istirahat.”

Kakaknya memberi tahu kondisinya tidak tertolong lagi, sisa menghitung jam atau hari.

Teman-teman seangkatan adiknya yang memakai jarum suntik yang sama, semuanya meninggal dunia setahun lebih awal, karena rajin meminum obat dan minum air tawar paling sedikit seliter sehari, ia mampu bertahan setahun lebih lama. Ketika kami ingin berbicara lagi, adiknya sudah tidak sadarkan diri, subuh itu juga meninggal dunia di rumah sakit Labuang Baji Makassar. Kami sedang di Batang Gadis, Batusangkar, menemani ibu yang juga sedang kurang sehat.

Kepergian kakaknya lain lagi. Beberapa hari yang lalu genap setahun, tanggal 5 Agustus 2022. Hari di mana ia meninggal dunia, ada belasan kali teleponnya, entah telepon yang ke berapa baru kuangkat. Rencana kami, setelah mengumpulkan cukup dana untuk mengunjungi Buleleng dan Singaraja, ia akan kami ajak menapak tilas jejak-jejak masa silam yang ditinggalkan mendiang ibunya semasa hidup di sana.

“Nanti kabar kematianku baru angkat telponku Uda!” Kalimat pertama yang selalu ia ucapkan kalau akhirnya telepon kujawab.

“Itu mi ndak mau ja angkat teleponmu.”

“Jemput nanti malam, honorku menari di taman pramuka bulan lalu sudah keluar. Kita ke Gedung Kesenian, saya bos!”

“Oke!”

Biasanya kami main ke gedung Societet de Harmoni atau gedung kesenian di atas pukul 10 malam dan pulang lewat tengah malam.

Malam itu selepas Isya selesaikan urusan yang lain dulu. Pukul 8 malam menerima kabar ia telah berpulang. Stroke.

Sehabis marah-marah sendiri dalam hati di depan jenazahnya, pergi kok tidak bilang-bilang. Teringat ajakannya melihat sisa-sisa taman pemandian di Kassi-Kassi Jeneponto beberapa bulan lalu, bertemu dengan keluarga mendiang Haji Geleng, tanpa penolakan kami penuhi. Dan dorongan mengajaknya ikut menjenguk beberapa kawan lama semasa masih membuka studio di dekat rumah orang tuanya, ternyata kebutuhannya.

Kami tidak lebih seseorang yang ditugaskan Tuhan membantu selesaikan urusan dan kaitannya sebelum meninggalkan dunia.

Putus sekolah dan buta huruf, mendidik dan membesarkan putranya seorang diri setelah ditinggalkan istrinya, karena tidak tahan dengan kegilaan pikiran dan tingkah tanpa struktur yang disebut ayahnya sebagai ‘happening art’ yang hidup dan bertumbuh. Dihina orang banyak dan kerabatnya sendiri, beberapa orang pernah meminta supaya kami menjauhi orang bodoh yang membawa pengaruh buruk, yang mengerjakan apa saja yang tanpa merugikan orang lain, dari tukang parkir, pesuruh, satpam komplek perumahan, menyempil menjadi penari latar atau berteater satu dua dialog di berbagai kegiatan kesenian, sampai berburu ekor kuda untuk bahan kerajinan membuat topeng, demi orang-orang di rumah yang bergantung kepada penghasilan tidak tetap hariannya.

Alhamdulillah. Mendiang lebih dari sekadar pantas mengapa Allah Ta’ala jadikan kami petugas yang membantunya selesaikan urusan dan kaitan sebelum meninggalkan dunia.

Suatu ketika, kami mungkin bertugas melayani kepentingan dan kebutuhan kaum terkenal, terpandang, terhormat dan mulia, yang kesulitan berkomunikasi atau bersilaturrahmi dengan cara wajar dan manusiawi sejak sepuluh tahun silam. Berdasarkan 99 sifat mulia sang Pemberi Tugas, maka siapa pun berpeluang menjadikan kami pelayan-Nya melalui mereka, kalau Dia berkehendak demikian.

Seperti saat bertugas membantu persiapkan kepulangan beberapa kenalan dan kerabat, tidak pernah terbayangkan tujuannya apa, tidak merasa perlu mencari kutipan dalil yang membenarkan, tanpa merasa dan menyadari sedang bertugas, tidak mampu menolak atau memilih. Bertahun setelah tuntas, baru paham ternyata kami cuma petugas.

Kisah Ros Magdalena yang sedang kami selesaikan, tersisa sekitar 5-6 bab lagi membutuhkan baca-tulis-baca-tulis berulang-ulang sebelum kami serahkan ke editor (yang masih dicari), untuk edisi elektronik terbatas sebelum versi cetaknya, ratingnya untuk semua umur, untuk yang suka atau benci dengan kami, yang punya kepentingan maupun tidak, untuk siapa saja. Kemiripan atau kesamaan kisah karena sejarah akan terus berulang selama kita belum mengambil pelajaran, kisah perempuan biasa, kisah hidup orang biasa yang mendominasi sekitar 80% populasi penduduk bumi.

Beberapa reka ulang dialog Ros Magdalena, suami dan keluarganya dengan kami, dengan seniman-seniman, juga dengan sahabatnya seorang Sayyid yang kembali berpuasa Ramadan (baca Bab 6, Harmoni) akan banyak mengingatkan kita, bukan ketiadaan solusi mengapa banyak masalah yang tidak selesai-selesai, lebih banyak karena: 1. Pemaksaan solusi yang harus dipakai; 2. Piagam penghargaannya untuk siapa, harus untuk yang paling berjasa, terhebat, dan terbaik; 3. Solusi yang kepagian atau kesiangan, muncul sebelum mengenal masalah sebenarnya atau muncul setelah masalah ditenggelamkan masalah baru yang jauh lebih besar; 4. Bikin masalah baru yang solusinya sudah lebih dulu siap ketimbang selesaikan masalah yang belum selesai.

Pesan sepasang suami istri yang menua bersama hingga meninggalkan dunia kepada kami, komunikasi yang lancar bukan kunci utama mengapa mereka selalu memilih bertahan dan menolak menyerah saat rumah tangga goyah. Tinggal satu atap bukan jaminan komunikasi aman dan lancar, berbincang setiap hari juga tidak menjamin terjadi pertukaran informasi dan rasa lewat komunikasi verbal dan non-verbal. Kuncinya saling menghargai, sehebat apa pun ledakan kemarahan suaminya, tidak ada satu kata hinaan atau tindakan merendahkan yang keluar untuk istrinya, sekalipun Ros Magdalena merasa pantas dihinakan. Masalah apa pun akan selesai lewat komunikasi sekalipun bentuknya pertengkaran, selama tanpa hinaan verbal dan non-verbal.

Merasa punya masalah dengan kami atau dengan tulisan kisah Ros Magdalena? Mari berkomunikasi jujur dengan cara yang saling menghargai, karena waktu tidak menunggu siapa-siapa dan kami hanya mencari ridha-Nya, bukan ridha manusia.

🌹 Dukung kami menuntaskan kisah hidup Ros Magdalena via trakteer atau buy me a coffee.

Baca Juga.

Img 5612

Kembali Menulis dan Mengedit

Setahun lebih lima bulan, sejak draf “Angin Barat” tanggal 22 Februari 2022 kami muat di website ini. Akhir Juni (29/6/2023)

Prosesi 04

Bakar!

Suami Ros Magdalena menutup karir sebagai pelukis dengan cara membakar hampir seluruh lukisan karyanya seusai berpameran tunggal di gedung Rektorat

Da 00010 Setabah Kelapa 1

Ketabahan Karang

Pantaskah batu karang menjadi contoh ketabahan mengarungi hidup, ia memang tak bisa kemana-mana saat ombang melarung. Pantaskah batu karang menjadi

Da 0002 Hati 1

Shape of My Heart

Minggu kemarin dapat notifikasi dari aplikasi pemutar audio Sp*tify, sepanjang tahun 2021 mendengarkan semua genre musik, penyanyi yang paling sering