Kami menganggap ada tiga tahapan yang harus dilalui seluruhnya, tidak harus runut, sebelum menganggap memiliki ilmu dan pengetahuan yang cukup komprehensif tentang sesuatu.
Tahapan pertama: Diberitahu atau mencari tahu sendiri.
Tahapan ini lazim ditemukan di sekolah-sekolah formal, diskusi, atau dengan membaca buku, bisa juga studi literasi di internet. Guru yang mengajar di tahapan ini biasanya belum cukup berpengalaman, sekadar memutar ulang kembali rekaman yang pernah ia pelajari dan ia ketahui, dan dengan memberitahu ia jadi berpengalaman dan mulai memahami, tak lagi sekadar tahu.
Tahapan kedua: Memahami
Tahapan ini kelanjutan dari tahap pertama, meraihnya hanya bisa dengan memiliki pengetahuan tentang apa yang ingin dipahami. Melibatkan imajinasi, sedikit emosi dan nuansa perasaan, hingga kemampuan berpikir ruang atau cakrawala. Semua tahu 1+1=2, tetapi yang paham bisa membayangkan dan melihat ada satu item atau obyek yang dikumpulkan bersama satu obyek atau item lainnya, sekarang sudah menjadi dua obyek atau item.
Tahapan ketiga: Mengalami
Dalam hidup, nyatanya tahapan ‘mengalami sesuatu’ kerap menyerbu duluan, sebelum berusaha memahami dan memiliki pengetahuan, atas apa yang sebenarnya sedang terjadi. Laboratorium dan kerja praktik di sekolah-sekolah formal sebagian tujuannya agar siswa (juga guru) memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih lengkap setelah mengalami simulasi (praktik). Mengalami 1+1=2 di kenyataan misalnya, diri sendiri digabung dengan orang lain agar menjadi satu tim dengan dua kepala. Tahapan ini rentan disusupi pembenaran ala ‘cocoklogi’, jika tidak memiliki keterampilan dasar berpikir ilmiah dan logika yang lurus. Cara berpikir ‘cocoklogi’ yang malas menggali data dan fakta pendukung, hanya mengambil kebenaran dan data empiris yang sesuai selera (dan tentu saja mengabaikan data dan fakta yang kontra) sudah bisa menyimpulkan, pengetahuan dan pemahaman atas apa yang sedang terjadi. ‘Cocoklogi’ adalah taman bermain para fanatik, hoaxer, scammer, dan pseudo-sains-er, sebelum memproses pengalamannya (kalau mau) ke wilayah pengetahuan dan pemahaman dengan nuansa kebenaran lebih kental, yang tidak harus sesuai keinginan.
Kisah hidup “Ros Magdalena” mulai kami tulis secara acak dan spontan sejak tahun 2019. Namun, belum berani menyusun dan dimaklumatkan akan menjadi sebuah novel biografi, sebelum utuh melalui ketiga tahapan tersebut.
Ada banyak kisah yang dituturkan oleh mendiang suami Ros Magdalena (wafat 10 Desember 2009) yang juga sudah berpulang menyusul istrinya dua tahun kemudian (13 Februari 2011, kurang 5 menit lagi 14 Februari Waktu Indonesia Tengah). Juga ada yang diceritakan oleh Ros Magdalena sendiri, putra-putrinya, dan orang-orang dekatnya yang kami simpan dalam kepala dan hati, yang sudah bisa disusun menurut garis waktu semasa hidup mendiang.
Sebagian kisah hanya kami ketahui dan pahami, tanpa pernah mengalami.
Sebagian kisah lain pernah kami alami, tetapi memberi pengetahuan dan pemahaman yang berbeda dengan apa yang dialami oleh Ros Magdalena.
Ketika calon suaminya membawa Ros Magdalena dari Buleleng, Singaraja Bali ke Makassar tahun 1962, untuk dikenalkan kepada orang tuanya sebagai calon istri. Ros Magdalena ditolak dengan sebab-sebab penolakan yang lugas oleh calon mertuanya, karena agama dan masa lalunya yang tidak jelas. Tanpa masa lalu, tidak bisa tercipta masa kini dan proyeksi ke masa depan.
Pemilik lahan yang mewakafkan tanah untuk mendirikan masjid pertama di kampung Parang, imam pertama masjid Mujahidin yang sudah berpulang dan kini dilanjutkan putranya, menampung Ros Magdalena. Membiarkan Ros Magdalena menumbuhkan minatnya sendiri, dengan melihat dan mendengar sebelum kemudian belajar agama Islam, yang mengubah sudut pandangnya dari masa lalunya yang samar atas masa kini dan masa depan. Calon mertua laki-laki Ros Magdalena yang juga panitia pembangunan masjid, yang menolak menjadikannya menantu juga mengamati perkembang Ros hampir setiap hari. Sampai, akhirnya menyukai akhlak dan pengetahuan agama Ros Magdalena.
Imam masjid lalu menyampaikan kepada calon mertua Ros Magdalena, bahwa ada pesan Baginda Nabi Muhammad Salallahualaihiwassalam untuk umatnya, jika menyukai akhlak dan agama seorang pemuda yang ingin meminang putri mereka, maka mudahkanlah, atau terjadi fitnah besar dan kerusakan besar di muka bumi, bukan hanya di kampung mereka. Calon mertuanya pun luluh, setuju menikahkan putranya dengan Ros Magdalena dengan pak Imam yang menjadi wali hakim.
Riwayat dari Baginda Nabi Muhammad Salallahualaihiwassalam juga kami alami, tetapi memberi pengetahuan dan pemahaman yang berbeda.
Ketika dua kali berupaya meminang perempuan berbeda dalam rentang waktu terpisah dan tidak dimudahkan, sedikit pun tidak merasa telah memiliki akhlak dan pengetahuan agama yang disukai, membuat kami terpaksa menunggu sebagian kecil fitnah dan kerusakan terjadi, sebelum memutuskan dan bertindak. Bisa dengan berusaha mengalihkan pinangan ke perempuan yang dimudahkan. Atau yang paling minim mudaratnya, memutuskan tidak meminang dan tidak menikah agar tidak tercipta ruang untuk dipersulit dengan segala pembenarannya, yang dengan itu, kami juga tidak kehilangan ridha Tuhan melalui ridha mendiang ibu kami.
Memutuskan untuk mulai menulis lagi, menyusun dan mengatur kumpulan kenangan dan kisah tentang kehidupan mendiang pun, serupa dengan apa yang dialami mendiang Ros Magdalena, tetapi sekali lagi memberi pelajaran dan pemahaman yang berbeda buat kami.
Ros Magdalena saat menjadi kembang kampung Parang, menyadari bahwa para lelaki yang memujanya telah tertipu oleh mata, syahwat dan imajinasi mereka sendiri, menganggap keindahan yang mereka lihat adalah pancaran keindahan utuh. Ros Magdalena sepenuhnya sadar, bayangan mereka tidak sesuai dengan kenyataan, keindahan fisik yang terlihat oleh mereka, berbatas waktu.
Menulis sesuatu pun demikian.
Terkadang pembaca memakaikan tulisan pada penulisnya. Padahal, nyatanya, tulisan selalu lebih indah dari penulisnya atau sebaliknya, lebih jelek dari tulisan yang juga buruk. Belum lagi ketika jari-jari penulis sedang dipinjam oleh makna dan hikmah yang mendesak keluar agar tersampaikan, hampir tidak ada bagian diri penulis yang terlibat untuk bisa disebut sebagai karyanya, kecuali jari-jari yang menari dan bergerak mengubah makna dan rasa jadi aksara yang terbaca.
Kami membutuhkan waktu untuk menemukan cara agar tulisan kami yang baik dan yang buruk tidak menjadi kaca mata yang dipakai memandang diri kami. Menutup pintu menjadikan tulisan kami alasan untuk jatuh cinta (misalnya), agar cinta tersebut terus dan sampai kepada pemilik kisah dan pembuat semua kisah, dengan menampilkan diri kami sebagaimana adanya, dengan kebaikan dan keburukan yang menyertai.
Suami mendiang memang mengamanatkan sejak lama agar kami dan penyair Muhary Wahyu Nurba, suatu hari setelah berpulang, ingin kami berdua menulis biografinya.
Ia bahkan telah merancang niat tersebut sejak lama, atau menurut kami, sebenarnya semesta yang telah merancangnya, sebab hanya semesta dan pencipta-Nya yang mampu merancang segala sesuatu dengan begitu rinci, tanpa cela dan terlihat seolah kebetulan untuk mencapai suatu keadaan atau takdir.
Kami bukan penulis yang baik, sekali pun pernah menjuarai lomba karya tulis ilmiah semasa SD, modal tersebut jauh dari cukup untuk berani menyebut diri sendiri sebagai seorang penulis. Hal ini disadari dan dirasakan oleh mendiang suami Ros Magdalena.
Secara spontan, ia lalu mengajak kami dan penyair Muhary Wahyu Nurba pada tahun 2003, ikut “Pameran 45 Perupa Sulawesi Selatan” yang menampilkan sekitar seratus karya dari 45 seniman Makassar di Bentara Budaya Jakarta, termasuk karyanya.
Penyair Muhary sedikit merasa risih dan gusar berada di tengah-tengah perupa. Kami selama enam tahun semasa SD dan SMP ikut sanggar seni rupa di Benteng Ujungpandang cukup akrab dengan para perupa yang ikut berpameran. Ada Zainal Beta, mendiang Mike Turusy, S. Mamala, mendiang Sakka Ali, dan lain-lain.
Kegusaran penyair Muhary mengapa ia dipaksa ikut oleh mendiang terjawab di hari pertama pameran, saat bertiga dengan suami Ros Magdalena mendapat jatah piket menjadi penyambut pengunjung pameran.
Ketika ruang pamer sedang sepi-sepinya, mendadak mendiang merobek tiga helai kertas. “Masing-masing kita menulis tiga keinginan di kertas ini, lalu bertukar, baca dengan keras kemudian aminkan.” Katanya sembari membagi kertas.
Kami menulis di kertas yang diberikan mendiang suami Ros Magdalena: 1. Belajar menulis; 2. Mulai menulis; 3. Menerbitkan tulisanku, berbagi catatan perjalanan dan hikmah, minimal blog pribadi di internet.
Penyair Muhary menulis: 1. Belajar melukis; 2. Mulai melukis; 3. Ikut pameran lukisan.
Suami Ros Magdalena menulis: 1. Berusaha mendapatkan royalti dari beberapa karyanya; 2. Menggunakan uang tersebut untuk menebus kesalahan mendidik putra-putrinya di bidang kemandirian ekonomi; 3. Mengajak kekasihku Ros Magdalena berhaji dengan sisanya.
Tiga keinginan mendiang tidak ia anggap penting lagi untuk dibahas, begitu melihat dan membaca isi kertas kami dan penyair Muhary.
“Tuhan sedang bekerja!” Katanya kegirangan.
Saat itu kami cuma tahu, belum paham dan belum mengalami sendiri, apa yang suami Ros Magdalena maksud dengan ‘Tuhan sedang bekerja’.
Tentu, semesta sendiri yang membuat kami paham, hanya beberapa jam setelah mendiang suami Ros Magdalena membaca tulisan tiga keinginan kami dan keinginan penyair Muhary.
Ia lalu memberi kami amplop berisi uang saku dari panitia pameran, isinya sejuta rupiah. “Ini uang sejuta, kalian bagi dua. Masing-masing lima ratus ribu rupiah, kamu beli buku belajar melukis yang paling baik dan paling cocok untuk Muhary, dan kamu Muhary beli buku sastra dan literasi untuknya agar ia semakin mahir menulis. Pergilah sekarang, tinggalkan saya sendiri.”
Apa yang terjadi setelah ia memberi uang lima ratus ribu rupiah untuk kami masing-masing, benar-benar membuat tahu, paham dan mengalami “Tuhan sedang bekerja“.
_____
Keterangan Foto: Gedung Bentara Budaya Jakarta, dapat dari artikel di Kompasiana, jika keberatan kami pakai akan diganti.