Suami Ros Magdalena menutup karir sebagai pelukis dengan cara membakar hampir seluruh lukisan karyanya seusai berpameran tunggal di gedung Rektorat Universitas Hasanuddin, kemudian dilanjutkan di gedung “Societet de Harmonie”.
“Kamu sedang di mana?” Kata suami Ros Magdalena di seberang telepon.
“Lagi di Maroanging Enrekang, perawatan berkala lab. komputer pesantren yang kukerjakan dulu. Kalau lancar, malam ini langsung pulang ke Makassar. Bapak kenapa?” Tanyaku keheranan, setelah sekian lama tidak bertemu, ia tiba-tiba menelepon.
“Usahakan malam ini ada di Makassar, langsung ke gedung harmoni. Saya mau membakar anak-anakku. Semua lukisan yang kubuat sebulan lalu, lebih terhormat kembali debu,” katanya lagi, kali ini dengan suara parau.
“Tunggu saya datang. Tolong,” jawabku cepat.
“Jangan coba batalkan niatku. Tidak Arge, tidak Zainal, tidak juga Ros istriku mampu menghalangi,” katanya lagi dengan ketegasan tentara.
“Loh? Siapa yang mau menghalangi, saya mau numpang ngetop berdiri di samping Bapak pas diwawancarai wartawan,” kataku berusaha meredakan kesedihan dan kemarahan dalam suaranya.
“Kutunggu. Hati-hati di jalan.” Kemudian ia menutup telepon dengan meninggalkan perasaan heran dalam hatiku.
Sebegitu isengkah semesta, merayakan ulang tahunku lewat acara pembakaran lukisan.
Seolah setuju dengan dugaanku, pekerjaanku tuntas pukul setengah 4 sore, kali ini memang harus merayakan ulang tahun dengan cara yang belum mampu kucerna utuh. Tanpa menunggu lama di depan gerbang masuk pesantren, bis dari Toraja yang akan ke Makassar berhenti tepat di depanku, sebelum pukul 8 malam sudah tiba di gedung Societet de Harmonie.
Lagu pilihan sopir bis antar kota ikut meledek, sepanjang jalan lagu SO7 sealbum bolak-balik itu saja yang menemani.
Bapak-bapak, ‘ku cinta anakmu
Jangan kau halangi aku
Bapak-bapak, cobalah mengerti
Anakmu cinta padaku
Bapak-bapak pasti ingin yang terbaik
Jadi pemimpin anakmu
Bapak-bapak, ijinkan ‘ku berlari
‘Tuk raih buah hatimu
Aku pria seperti dirimu
Perjalanan yang lancar. Tiba di terminal Panaikang, tidak pulang ke rumah langsung ke gedung Societet de Harmonie.
Persiapan prosesi pembakaran lukisan yang dikemas dalam bentuk pertunjukan “happening art” sudah tuntas.
Beberapa wartawan televisi dan cetak sedang mewawancarai suami Ros Magdalena. Menyelinap ke depan tumpukan lukisan, berusaha tidak terlihat olehnya, ingin mengabadikan beberapa lukisan yang menjadi bahan bakar api unggun setinggi empat meter.
Bagaimana pun, lukisan itu kuanggap hadiah ulang tahunku. Menggunakan kamera ponsel 1 megapixel, tujuh lukisan sempat kuabadikan. Menepi saat suami Ros Magdalena mulai memberi sambutan.
“Ini bukan hanya tentang uang. Uang tidak akan cukup untuk membeli semua kerja keras dan perjalanan spiritual seorang seniman. Ini adalah masalah mendasar, manusia telah gagal memanusiakan manusia lain, bukan hanya seniman,” demikan kata sambutannya yang terdengar, lalu menyulut api.
Bulan Januari tahun 2002 puluhan lukisan ia bakar, melepaskan akumulasi kekecewaan terhadap rendahnya apresiasi kepada seniman dan karyanya saat itu.
Saya pulang sebelum api benar-benar padam.
Bagi sebagian kalangan akademisi, puluhan lukisan yang dibakar suami Ros Magdalena karya yang gagal secara teknis dan estetika. Bagiku, bagi penyair Muhary, dan bagi perupa Zainal Beta, semua karyanya tersebut adalah ‘master piece’. Selaput katarak yang menghalangi kejernihan lensa matanya, menggunakan loop (kaca pembesar) untuk melukis memang membuatnya banyak menggunakan warna ‘tube’ (warna asli dari pabrik cat lukis), yang menurut pendapat sebagian pelukis senior hanya dilakukan oleh para pemula. Semua itu tidak mampu mengurangi kerasnya pekik perjuangan suami Ros Magdalena saat menyelesaikan setiap lukisannya yang sedang terpanggang.
Ketujuh foto lukisan yang dibakar malam itu, kami temukan kembali dalam hard drive laptop tua di Makassar.
Lagi-lagi, semesta seolah sedang berkonspirasi agar novel biografi ini kuselesaikan. Tujuh foto lukisan tersebut berusaha kami repro menjadi ‘digital painting’. Empat sudah selesai kami kerjakan di Bandung, tiga sisanya dalam proses, ketujuhnya akan kami drop sebagai NFT, untuk ongkos menyelesaikan penulisan novel biografi Ros Magdalena, dan untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang indah milik mendiang suaminya tetap hidup.