Di lantai dasar Roxy Plaza Jakarta tahun 2003, ada sebuah toko buku kecil yang menyewa ruang tengah plaza, cukup luas sekitar 200 meter persegi .
Kami berdua tenggelam mengubek-ubek koleksi buku impornya yang langka. Muhary kubelikan kumpulan surat Chairil Anwar untuk pelukis Nazar, dan Muhary membelikanku buku surat-surat Van Gogh untuk Gauguin.
Untuk buku-buku lain, kami berdebat sengit dengan logat dan intonasi khas Makassar yang berisik. Cukup keras, membuat Opa pemilik toko buku menoleh, tersenyum simpul mendengar debat kami dari meja kasir dengan sepasang tongkatnya.
Akhirnya, terpilihlah empat buku, selain dua buku kumpulan surat-surat.
Kami mengangsurkan tumpukan buku ke Opa yang duduk di belakang meja kasir. Senyumnya belum luntur menatap kami.
“Dari Makassar?” Tanya Opa masih sambil tersenyum.
“Iya. Opa, kami tadi berdebat biasa, bukan bertengkar.” Jawab Muhary sedikit malu.
“Kalian kuliah di Universitas Hasanuddin?” Tanya Opa yang maklum dengan debat kami, seolah akrab dengan dialek dan intonasi orang Makassar.
“Kami berdua alumni. Dia diwisuda rektor, saya wisuda sendiri. Hehehe.” Jawabku tidak malu.
“Mana buku yang kalian pilih? Biar kulihat. Ayo duduk dulu.” Kata Opa kemudian diikuti pegawainya yang mengangsurkan kursi dan mengambilkan dua botol minuman ringan. “Semua lima ratus ribu rupiah.” Sambungnya menyebut harga tanpa menjumlahkan harga masing-masing buku yang kami ketahui jumlahnya kurang lima puluh ribu genap sejuta.
Kami terkejut, “Opa salah hitung.”
“Bagaimana kalau gratis?” Tambah Opa, membuat kami semakin terkejut.
“Jangan Opa. Kami ada uang kok.”
“Lima ratus ribu atau gratis, keduanya tidak bisa membayar terima kasihku untuk mantan rektor Universitas Hasanuddin, Profesor Amiruddin. Andai bukan karena kebaikan beliau dan keluarganya, toko buku ini tidak pernah ada.”
Opa lalu bercerita, ketika terjadi kerusuhan rasial di Makassar tahun tujuh puluhan, ia dan keluarganya diselamatkan Prof. Amiruddin (mendiang, mantan Rektor Universitas Hasanuddin dan Gubernur Sulawesi Selatan) dengan mengajak mereka berlindung ke dalam rumahnya.
“Toko buku ini milik cucuku yang mungkin tidak ada andai tak ditolong beliau. Aku sesekali ke sini ikut menjaga sambil membaca koleksi-koleksinya yang unik. Terima kasih telah berkunjung, membuatku memiliki kesempatan membalas kebaikan pak Amiruddin.”
Pohon kebaikan yang ditanam Prof. Amiruddin yang tidak lagi menjabat sebagai rektor ketika kami mahasiswa, masih berbuah. Kami menikmati buahnya beberapa puluh tahun setelah ditanam.
Kami mulai paham mengapa di Bentara Budaya tadi, mendiang suami Ros Magdalena bersorak girang, “Tuhan sedang bekerja!”
Mendiang Ali Walangadi tidak tercengang mendengar kisah kami sepulang dari Roxy Plaza. Senyum tipis di bibirnya dan sorot mata yang menerawang, sedang berada di cakrawala yang hanya terjangkau para sepuh, kaum yang benar-benar paham bagaimana ‘Tuhan bekerja’.
“Tunggu sampai kalian bertemu dengan yang mengumpulkan kebaikan-kebaikan di sini.” Jawabnya beberapa saat, kemudian bertanya ke panitia pameran yang sedang berembuk di dekat kami, “Malam ini kami tidur di mana?”
Panitia pameran dari pihak peserta dan dari pihak penyelenggara mengatakan, malam ini istirahat di hotel Santika terdekat yang kamarnya sudah disiapkan.
Ketambahan dua orang penumpang gelap, kami dan penyair Muhary, kamar hotel menjadi kurang. Pelukis Mike Turusy lalu mengusahakan kontrakan layak bagi kami berdua di sekitar Bentara Budaya.
“Saya ikut di mana mereka berdua tidur,” kata mendiang suami Ros Magdalena.
“Kalau Bapak nginap di kontrakan, kami juga.” Sahut Zainal Beta dan perupa senior lainnya.
Sekalipun ada perkubuan di kalangan seniman, selalu ada sosok seperti mendiang suami Ros Magdalena yang mampu mencairkan sekat perbedaan, bisa karena aliran, bisa juga karena beda latar belakang berkesenian antara yang akademis dengan otodidak. Akhirnya hanya panitia inti yang tidur di hotel.
Kontrakannya bersih, empat kamar dengan ruang tamu yang barusan selesai direnovasi, berhalaman cukup luas. Letaknya tidak jauh dari gedung Bentara Budaya sekitar lima ratus meter, dalam gang kecil setelah lahan kantin yang diisi aneka pedagang kaki lima, tempat karyawan dan pegawai Kompas Gramedia grup biasa makan dan minum.
Perasaan kami semua sama ketika berjalan menuju rumah kontrakan harian yang berhasil didapatkan Mike Turusy. Serasa berada di rumah sendiri bahkan sebelum ada interaksi.
Kontrakan yang kemudian kami ubah namanya menjadi “Hotel Ayam”, setelah kejadian di malam pertama. Kami terkejut dan terbangun mendengar suara ayam-ayam tercekik meregang nyawa tengah malam. Halaman hotel kami pada pukul dua pagi, berubah menjadi rumah potong ayam sebelum diedarkan ke sekitar Jakarta selepas subuh. Mike Turusy dan Zainal Beta yang telah siap dengan pentungan mengira ada pencuri ayam, terbahak-bahak menemui kenyataan hidup di Jakarta.
Ajaib, saat subuh, saat berjalan menuju masjid dalam gang, tidak ada bau dan satu helai bulu ayam pun yang tersisa.
Semua kurang tidur, tetapi sejak pagi kami tetap rapi dan wangi di gedung Bentara Budaya, sesuatu yang sulit ditemui pada seniman perupa ketika itu.
Pembukaan pameran Perupa Sulawesi Selatan pukul tujuh malam nanti, bagian pertama dari seri pameran semua propinsi di Indonesia yang digagas Bentara Budaya akan dihadiri banyak tokoh nasional. Menteri Jero Wacik yang akan membuka pameran didampingi pak Jakob Oetama.
Usai mendampingi para tokoh, selepas sambutan-sambutan dan jamuan makan malam dimulai, mendiang suami Ros Magdalena kembali bergabung dengan kami berdua.
“Itu tadi Pak Jakob, orang yang fasih berbahasa dengan bahasa yang dipahami semua manusia, bahasa kebaikan, yang mengumpulkan banyak kebaikan di sini sejak kita berangkat dari Makassar.”
Keesokan pagi, sebelum tiba giliran piket menjaga pameran, kami berdua berkeliling komplek Kompas-Gramedia di Palmerah Selatan, diizinkan memasuki ruang arsip, ruang cetak, sampai perpustakaan kecil di samping gedung Bentara Budaya. Karya beberapa maestro pelukis Indonesia menghiasi dinding-dinding ruangan tertentu dalam setiap gedung.
Lebih mudah menemukan debu yang melekat di sepatu kami ketimbang debu yang melekat di almari arsip, di rak buku dalam kompleks Kompas-Gramedia, dan setiap orang yang kami temui membuat kami merasa tidak sedang berada di dalam kompleks industri media raksasa, tetapi di rumah sendiri.
“Beruntung kemarin kita sudah piket duluan,” jawab Muhary ketika kuberi kode menunjuk arloji, waktunya makan siang.
Namun, ia belum mau beranjak dari lukisan milik Nazar.
“Sudah kutemukan guru lukisku,” sahutnya menjawab keherananku mengapa terpaku pada karya Nazar.
3 Non. Non-teori, non-estetika, non-konsep, teori (yang harus ia non-kan juga) ditemukan pelukis Nazar, ketika membandingkan sebuah lukisan yang ia buat di perbukitan di Bali dengan apa yang nampak. Mengapa tanpa teori, tanpa konsep, tanpa estetika, alam semesta bisa menampilkan rupa yang begitu indah dan tidak pernah bisa utuh ia tampilkan kembali ke atas kanvas. Babi dalam kandang nampak indah di depannya, tetapi merusak komposisi ketika ia taruh dalam kanvas, sendirian merah muda di hamparan rerumputan hijau. Meniadakannya di atas kanvas sesuai dengan teori warna kontras yang sebaiknya dihindari, tetapi semesta yang mengabaikan teori warna menampilkannya dengan indah.
“Tidak ingin mengecilkan kebahagiaanmu menemukan guru lukis, tetapi kamu harus tahu, pelukis Nazar setiap hari membawa ratusan sketsa dan ilustrasi karyanya ke pelukis Basuki Abdullah agar diterima menjadi murid, selama bertahun-tahun, untuk menerima jawaban yang sama. Kamu tidak berbakat.”
“Lalu?”
“Akhirnya Basuki Abdullah menerimanya jadi murid, masih tetap dianggap tidak berbakat. Katanya, tidak apa kamu tidak berbakat, selama menjaga 99% lainnya yang sudah kamu buktikan, ketekunan.”
** Tulisan ini pernah terbit di wartakita.id dengan judul berbeda, obituari untuk mendiang Jakob Oetama. Kami jadikan kolase dengan beberapa tambahan di sini, karena momen tersebut bagian dari keping mozaik atau kolase yang membentuk kisah Ros Magdalena secara utuh.
_____
Keterangan Foto: “Totem”, Jakarta 2011.