Minggu kemarin dapat notifikasi dari aplikasi pemutar audio Sp*tify, sepanjang tahun 2021 mendengarkan semua genre musik, penyanyi yang paling sering kudengar Maudy Ayunda, dan secara khusus memberi catatan sepanjang tahun 2021 telah memutar lagu ‘Shape of My Heart’ milik ‘Sting’ sebanyak 38 kali tanpa jeda, menyusul ‘Loe To Ya’ /rif sekitar 20an kali.
Beruntung, jelang akhir tahun 2020 belum memperpanjang akun premium, rasanya sejak akhir 2018 di Jakarta sampai menjelang kembali ke Makassar, ratusan kali memutar lagu ‘Shape of My Heart’ berulang tanpa jeda. Meneriakkan (dalam hati), “Itu bukan hatiku,” ke orang-orang yang berani menyimpulkan dan bertindak hanya dengan sedikit informasi tanpa konfirmasi.
I know that the spades are the swords of a soldier
I know that the clubs are weapons of war
I know that diamonds mean money for this art
But that’s not the shape of my heart
‘Shape of My Heart’, bercerita tentang kartu poker dan filosofis si pejudi yang memainkan kartunya sebagai medium perenungan.
Menemukan jawaban, tanpa dicurigai bermain untuk mengetahui geometri agung dari peluang, hukum tersembunyi dari kemungkinan hasil akhir, dan angka-angka yang mengajak menari. Bukan mencari uang kemenangan atau agar dihormati dan diakui oleh yang kalah.
He deals the cards as a meditation
And those he plays never suspect
He doesn’t play for the money he wins
He don’t play for respect
He deals the cards to find the answer
The sacred geometry of chance
The hidden law of a probable outcome
The numbers lead a dance
‘Shape of My Heart’ rilis tahun 1993 tepat ketika penulis mulai ‘menekuni’ judi menggunakan kartu poker, domino, maupun tanpa kartu. Tertolong bisa melepaskan diri, karena tidak menjadikan uang kemenangan dan candu jumawa juara sebagai sebab dan tujuan.
Sungguh. Jalan yang pernah kami tempuh demi memahami dan mengalami rahasia hidup berupa nasib dan takdir, tidak akan kami sarankan kepada orang lain. Judi adalah lorong hitam pekat dengan adrenalin sebagai pelepas dahaga. Sekali meminum makin haus, lorong gelap pun memanjang nyaris tanpa ujung. Hanya yang memiliki tujuan jelas dan berkomitmen dengan tujuan yang mampu mencapai ujung. Tujuan itu, bukan berupa uang hadiah kemenangan, bukan penghormatan dan bukan pula gelar sebagai pemenang.
Tidak ada rumus ‘pasti menang’ dalam ‘permainan’ mengundi nasib dan mengubah takdir. Berlaku kondisi superposisi (fisika kuantum), perubahan kecil pada observer (dari niat, cara mengobservasi, hingga ekspresi), perubahan ekosistem, dan hal-hal yang seolah tidak berarti akan mengubah kondisi subyek dan obyek sampai ke hasil akhir permainan. Pemaksaan hasil akhir sesuai keinginan dengan cara apa pun, merusak harmoni dan keseimbangan semesta di semua skala.
Namun, seorang pemain pasti terhindar dari kondisi kalah atau menang, jika tidak menjadikan satu dari dua kemungkinan tersebut sebagai sebab dan tujuan bermain.
Ros Magdalena dan suaminya telah sama-sama ‘berjudi’, mengadu peruntungan nasib, berusaha mengubah takdir mereka berdua dan anak cucu keturunannya kelak, dengan menjadikan cinta satu-satunya modal awal berkomitmen sebagai suami dan istri. Hal ini diakui oleh mereka berdua kepada penulis.
If I told her that I loved you
You’d maybe think there’s something wrong
I’m not a man of too many faces
The mask I wear is one
Pikiran dan perasaan lelaki yang kelak akan menjadi suaminya persis seperti lirik di atas, saat menemui Ros Magdalena di tempat kerjanya, di sebuah tempat hiburan malam di sekitar pelabuhan Buleleng pada tahun 60an, bagian dari Singaraja, ibu kota provinsi Bali hingga tahun 1958.
“Apa kata ibuku, jika tahu aku jatuh cinta dan ingin menikahi seorang pelayan di tempat hiburan malam?”
But those who speak know nothing
And find out to their cost
Like those who curse their luck in too many places
And those who fear are lost
Mereka berdua tersadar tidak semestinya cinta menjadi modal berjudi beberapa puluh tahun kemudian, cinta ternyata lebih besar dari sekadar modal memenangi permainan nasib dan takdir hidup, pada suatu pagi beberapa tahun sebelum mereka berdua berpulang.
“Ros, aku mengaku salah dan kalah.”
“Menikah denganmu bukan mencari kalah-menang atau salah-benar,” jawab Ros Magdalena bulat.
Kami yang semalaman berjudi tertidur di ruang tengah ikut mendengar, tempat mereka memulai hari, buru-buru mengumpulkan kesadaran, berusaha menyimak perbincangan sepasang kekasih yang tak terpisahkan selama puluhan tahun, sebelum tersadar obrolan mereka mungkin rahasia.
“Jangan pergi dulu. Kamu di sini saja mendengar pembicaraan kami, berkomentar kalau mau. Ini bagian dari kegagalan dan kesalahanku yang sebaiknya juga kamu tulis dalam biografiku.”
“Kamu bukan orang lain, sudah seperti anak sendiri,” sambung Ros Magdalena.
Rumahnya dekat rumah ibuku, kurang dari dua puluh rumah. Kerap kujadikan tempat ‘menormalkan’ diri setelah semalaman berjudi atau mabuk, mendiang ibuku bisa mencium jejak perbuatanku di luar rumah, lebih aman pulang pagi. Sekalian menggali informasi dari sumber utama sebelum mulai menulis, sehari dalam sepekan menumpang tidur di sana.
Sejak kami kanak-kanak, rumahnya terbuka dua puluh empat jam untuk siapa saja. Banyak pemuda sekeluar menumpang makan-tidur berbulan-bulan berhasil meraih cita-citanya. Beberapa orang maling yang tertangkap basah, pernah merasakan kopi buatan Ros Magdalena. Tidak mereka laporkan ke polisi, tidak digebuki, malah diajak ngobrol. Kalau kebetulan sedang menyimpan uang di rumah, diberi sangu dulu sebelum pergi. Katanya, kalau ia yang semiskin ini masih dikunjungi maling, sepapa apa malingnya.
Perbincangan pagi itu bukan lagi kolase, bukan keping mozaik kisah hidup ‘Ros Magdalena’, sudah kisah itu sendiri.
He may play the jack of diamonds
He may lay the queen of spades
He may conceal a king in his hand
While a memory of it fades
Sepulang dari pameran di Bentara Budaya Jakarta dan beberapa tahun setelahnya, belum terbesit niat menuliskan kisah hidup Ros Magdalena, pusat perhatian masih mendiang suaminya. Mulai menulis acak dan spontan tentang mendiang suami Ros Magdalena, mengisi waktu luang yang melimpah semasa di Jakarta dari akhir tahun 2017 sampai awal tahun 2020, tanpa niat khusus kelak membukukannya.
Belum semua studi terlaksana, belum semua sumber informasi sekunder berhasil kami temui. Belum ke semua tempat di mana Ros Magdalena dan suaminya pernah menetap. Belum ke Buleleng, belum ke Gusung Tallang, ke Kassi-kassi Jeneponto sudah, ke Bantimurung dan Rammang-rammang Maros belum, dan menyelesaikan tulisan biografi mendiang suami Ros Magdalena belum bisa kami lakukan sekarang. Harus ke Lombok saling bertukar naskah lisan dan tulisan, penyair Muhary kini bermukim di sana.
Ketika notif aplikasi sp*tify tentang lagu ‘Shape of My Heart’ masuk, serasa diingatkan. Semua gonjang-ganjing dan kasak-kusuk di luar diri kami sudah menjadi urusan Tuhan langsung sejak berserah diri. Uang hadiah kemenangan, prestasi dan gengsi sebagai pemenang bukan tujuanku berangkat ke Jakarta kemarin. Pikiran dan perasaanku sudah berada di cakrawala berbeda, yang membuatku mampu memutuskan tidak harus menikah ketimbang ruang yang menyumbang ketidakseimbangan semesta tetap terbuka. Sementara, empat orang kemenakan yang kini menjadi ‘anak-anak’ kami setelah ayahnya berpulang, masih menyisakan waktu luang berkarya dan bekerja. Benar-benar kehabisan alasan tidak mulai menjalankan amanat mendiang suami Ros Magdalena.
Sementara penyair Muhary di Lombok, kami ada pilihan mulai menulis kisah hidup ‘Ros Magdalena’, kisah yang aman dari multi-tafsir atau terbawa perasaan sensitif di situasi kalah-menang, juga bebas dari klaim-klaim sepihak, baik dari diri kami sendiri maupun dari orang lain yang membaca.
Merdeka dari semua kepentingan, kisahnya sendiri yang meminta agar lebih serius menulis.
“Semalam kakakku sakit. Sakitnya parah,” tutur putra mendiang suatu malam, setelah bercerita ia baru saja menolak seorang penulis di Makassar yang ingin menulis biografi mendiang bapaknya, karena tahu amanat itu untuk kami dan penyair Muhary.
“Sakit apa? Sudah ke dokter?” Tanyaku.
“Tidak perlu ke dokter kalau mau tahu saudaraku sedang sakit parah.”
“Caranya?” Tanyaku penasaran.
Putra mendiang yang satu ini unik. Tak tamat SD, berhenti sekolah sebelum bisa baca-tulis, tetapi jago berhitung uang. Mendiang bapaknya pernah berkelakar, jika ingin melihat ‘happening art’ yang bertumbuh dan hidup, lihatlah putranya yang ini.
“Semua saudaraku memekik ‘Maak!’ kalau rasa sakit tidak lagi tertahankan,” jawabnya getir. Ia rindu Ros Magdalena.
Ketika ia menyebut ‘Maak!’, terbawa serta kenangan bersama mendiang Ros Magdalena pada suatu subuh.
“Bangun! Kau tidak ke mesjid salat subuh? Kalau tidak tolong kunci pintu, yang lain masih tidur,” kata mendiang mengguncang bahuku.
“Tidak, di rumah saja,” jawabku sambil menggosok mata, berusaha melihat sosok Ros Magdalena dalam gelap.
“Jangan pulang dulu, dari mesjid saya mau mampir ke pasar, ada kue untuk sarapanmu dan Bapak,” katanya lagi sebelum pintu kukunci.
“Kenapa terdiam?” Tanya putranya mendapati mataku menerawang jauh.
“Ingin mulai menulis tentang mendiang ibumu,” jawabku kemudian.
“Kenapa tidak menulis tentang ibumu dulu?” Tanyanya lugu, tetapi benar.
“Tentang ibuku, menunggu waktu yang tepat. Tentang ibumu, tak banyak yang tahu dia seorang perempuan biasa dengan kisah hidup luar biasa, dan wangi Mawar mulai semerbak.”
Keterangan Foto Latar : “Hati”, Tanah Datar, 2016.