Karakter mendiang suami Ros Magdalena keseharian semasa hidup, masih mampu kami gambarkan sebagai tokoh utama dari sebuah novel biografi. Profesi dan jalan hidupnya sebagai perupa dan penulis, juga hobi kami.
Penutur lebih dulu mengenalnya sebagai pendongeng handal sejak kanak-kanak, yang mendongeng setiap Minggu sore di teras rumahnya sambil minum teh panas dan makan kue kampung yang disuguhkan Ros Magdalena.
Dongeng yang membebaskan imajinasi anak-anak kecil di sekitar rumahnya agar tumbuh kembang nyaris tanpa batas. Membangun kesadaran bahwa kerap kali batasan mengembangkan diri buatan sendiri, karena takut salah atau takut gagal, padahal keduanya dibutuhkan untuk mendewasakan manusia.
Lewat dongengan, mendiang suami Ros Magdalena menata kembali fungsi rasa takut pada anak-anak, yang awalnya penghalang memulai langkah pertama, menjadi alat kalibrasi. Sedang berada di mana sekarang, melihat dengan jelas mau ke mana, dan membutuhkan apa agar sampai ke sana. Jika dalam imajinasi saja sudah takut salah dan gagal, bagaimana di kenyataan. Berimajinasi seharusnya tanpa batas.
Dongengnya mempertemukan tokoh fiksi pahlawan super dari komik Amerika dengan tokoh pewayangan, dagelan, dan tokoh dari dunia nyata. Superman bersahabat dengan Gatotkaca setelah terlibat duel di udara, Kabayan guyon dengan si Pitung sepulang merampok rumah pejabat kompeni kemudian keduanya ia pertemukan dengan mantan wali kota Patompo, yang sedang berkacak pinggang memerintahkan pembangunan jalan Veteran Makassar, harus lurus dari ujung ke ujung, “Ini bukan jalan kampung!” Menjadi contoh cara membangun tangga kembali ke kenyataan, lewat tokoh dongeng yang berasal dari dunia nyata.
“Silakan berimajinasi seliar, sebebas dan seindah mungkin, meyakininya sebagai kenyataan sampai batasan antara khayalan dengan kenyataan menjadi kabur bukan masalah, selama tidak memaksa orang lain hidup dalam imajinasimu, selama menyimpan kesadaran tempat menjalani hidup yang sebenarnya di kenyataan.”
Dongengnya membuat kami tidak merasa risih dan pantas jatuh cinta, dicintai, mencintai sampai ingin menikahi perempuan yang menurut orang lain terlalu banyak perbedaan selain usia dengan kami, tetap menerima kenyataan tanpa menjadikan imajinasi tempat lari diri dari kenyataan saat tidak sesuai harapan.
Tidak jarang ia membuat tokoh super dipecundangi oleh orang biasa dalam duel, mengenalkan ada yang lebih penting dari sekadar menang-kalah dan salah-benar, memiliki kekuatan super bukan jaminan akan selalu menang dan benar, nilai-nilai kebenaran bebas memilih, tampil melalui siapa atau apa. Tanpa menjadikan hal-hal yang menurut kami harusnya Superman yang menang, bukan Gatotkaca saat duel dalam dongengnya.
Katanya kemudian setelah menjadi guru lukis kami, kebiasaan mendongengnya dahulu karena sebab praktis. Tidak punya uang dua kali setiap hari membelikan 11 tiket nonton film di bioskop rumahan Daeng Haji untuk anak-anaknya, tidak punya uang untuk bikin bioskop serupa di rumahnya bermodal video player dan televisi besar, menandingi tayangan receh bioskop rumahan dengan yang lebih bermutu dan sesuai umur penonton. “Setiap ada wartawan yang bertanya tentang kebiasaanku dulu, kujawab saja dengan jawaban yang diharapkan pembacanya. Bagian dari tanggung jawab moril seniman terhadap masa depan manusia dan kemanusiaan.”
Hampir semua kisah-kisah patriotik yang tercatat sejarah, hanya menyebut sebab ideal mengapa seseorang sanggup bertindak heroik, melupakan hal remeh, awal mula sang tokoh dan orang besar itu mengambil keputusan bertindak.
Dongeng mendiang suami Ros Magdalena saling melengkapi dengan pelajaran dari mendiang guru mengaji kami, ketika memberi pengantar memurnikan akidah yang dimulai dengan memurnikan syahadat. Jika kekuatan pikiran dan imajinasi mampu membuat seorang manusia mewujudkan apa yang ia pikirkan dan bayangkan, maka jangan-jangan yang kami sebut dan yakini sebagai Tuhan, cuma buah pikiran dan imajinasi.
Ketika pertanyaan itu kami tanyakan pada mendiang guru mengaji. “Kok tanya saya? Bukan saya yang menumbuhkan pertanyaanmu. Tidak perlu pusing memikirkan jawabannya, kalau pertanyaan itu berasal dari Tuhan, maka Tuhan sendiri yang akan menjawab. Kamu bukan orang pertama yang memiliki pertanyaan demikian, nabi Ibrahim pernah menuhankan bintang-bintang, bulan sampai matahari.” Jawaban yang membuat kami membaca kembali kisah nabi Ibrahim dalam Al Qur’an, menemukan jawaban yang sementara waktu berhasil membuat kami puas. Jika kenikmatan surga belum pernah terlintas dalam pikiran, perasaan dan imajinasi manusia, maka pencipta surga lebih mustahil bisa terjangkau pikiran dan imajinasi.
Mendiang suami Ros Magdalena, bukan hanya pelukis dan pendongeng, ia juga penyair, penulis esai, fiksi dan naskah drama yang apik lagi indah, sekaligus veteran pejuang kemerdekaan RI.
Awalnya terasa berat menggambarkan dengan kata dan kalimat sosok yang sedemikian unik, sebelum menonton film ‘Modigliani’ (2004), kemudian menemukan karya-karya lain yang berhasil memadukan kisah nyata dengan bumbu fiksi kisah hidup seniman. Sekaligus menemukan jawaban, mengapa Plato enggan menampung seniman dalam konsep kota idealnya, keindahan matematis dan mekanis karya para insinyur lebih dari cukup. Menurutnya, seniman manusia merdeka yang hanya patuh pada semesta, akan tersiksa kalau hidup di kota yang tumbuh sesuai aturan dan koridor demi mengarahkan pertumbuhan kehidupan manusia dan kota menjadi lebih baik. Sementara jiwa, pikiran, dan perasaan seniman lebih sering berada di luar batasan baik-buruk atau salah-benar selama konsekuensi masih dalam skala individu. Seniman manusia super-egois demi menjaga independensi hubungan dengan semesta, super-egois hanya pada diri mereka sendiri dan pada karya-karyanya, bukan kepada orang lain dan lingkungan semesta.
Antara tahun 2003 sampai awal tahun 2006 rajin mengumpulkan data, rasa dan momen dari sumber primer. Sedikit terbentur ketika mulai mendalami karakter istrinya yang lahir dan tumbuh sampai usia remaja di Buleleng Bali. Selain dengan mendiang Ros Magdalena, belum pernah berinteraksi dengan perempuan yang hidup dan tumbuh dalam budaya dan kearifan khas Bali, menemukan keunikan dan kemiripan yang dimiliki oleh perempuan-perempuan Bali yang juga dimiliki oleh Ros Magdalena.
Berharap suatu hari nanti mendapat kesempatan ke Bali, setelah menamatkan pelajaran ‘mengundi nasib’ di akhir tahun 2006, menemukan ikhtiar adalah jalan terbaik mengubah nasib, bukan judi dan cara instan lainnya. Ikhtiar memunculkan proses, bagian yang lebih penting dari berhasil atau gagal, mengalami pemahaman dan pengetahuan dengan lebih mendalam. Melalui ikhtiar terbentuk karakter yang ikut membentuk takdir.
Pintu yang lain terbuka tepat ketika menutup satu pintu. Waktunya mengalami ‘ikhtiar’ setelah berhenti mengundi nasib dan takdir, tanpa ragu menerima tawaran menjadi tenaga ahli IT jelang akhir tahun 2006 di Palu sampai akhir tahun 2011. Hobi selain kesenian yang akhirnya menjadi profesi, dengan dasar pengetahuan rancang-bangun, algoritme, dan bagan alur dari jurusan arsitektur yang kami tinggalkan tanpa wisuda.
Jarak antara Palu dan Makassar 45 menit dengan pesawat, hampir setiap Ramadan pulang ke Makassar. Namun, saat penyair Muhary menelepon pukul sembilan malam, tanggal 10 Desember 2009, kami terpaku duka, tidak ingin bergegas mencari tiket ke Makassar.
“Ammoterang* mi ibu Ros,” kata Muhary serak. Suaranya yang memang berat, lebih bariton dari biasanya. “Bicaralah dengan sahabat kita, beliau terpukul. Tunggu, biar kucari ke dalam rumahnya.” (*Ammoterang: berpulang, bahasa Makassar).
“Mamakmu sudah duluan,” katanya lirih, lalu bercerita saat-saat terakhir istrinya.
Sekitar pukul 10 pagi Ros Magdalena mengeluh demam sehabis mencuci dan beberes rumah, sesuatu yang dia kerjakan setiap hari sekhusyu mengerjakan salat. Ia menemaninya berbaring usai menempelkan koyok. Ros Magdalena seperti perempuan Bali lainnya dan orang Jepang, ketika mengerjakan sesuatu, menerjunkan dirinya lahir dan batin layaknya beribadah formal. Pukul 12 siang, dia bangkit dari ranjang menimang cucu yang menangis kemudian duhur, lalu kembali berbaring istirahat, tubuhnya masih demam. Selepas Magrib minta ditemani, kemudian pamit pergi sehabis Isya.
“Tiap malam menjelang tidur tiga tahun terakhir, kami berlatih bagaimana jika seandainya seorang dari kami harus duluan berpulang. Toh, aku tidak pernah siap.” Kami diam tidak berkomentar, sementara ia bertutur, pikiran dan perasaan memutar ulang kenangan semasa Ros Magdalena hidup.
“Pulang dan jenguklah pusaranya kapan kamu siap, tidak harus besok,” sambung suami mendiang Ros Magdalena yang senar hatinya sanggup membaca getaran pikiran dan perasaan kami.
“Besok pagi saya mencari tiket.” Jawabku bulat setelah menghela napas panjang.
Sendirian ke pusara Ros Magdalena, belum terpikirkan kelak kisah hidupnya lebih dulu kami tulis. Usai mendoakan, kami berangkat menjenguk suaminya di rumah.
“Kapan melukis lagi?” Kalimat pertama suami Ros Magdalena kepadaku.
“Loh?” Tanyaku heran, mengapa tidak membahas duka cita kepulangan istrinya. “Belum tahu kapan, lima lukisan di atas kanvas terakhir tahun 2004, sudah laku semua. Satu dilelang, dimiliki kawan yang mengirim donasi ke PMI untuk membantu korban gempa di Padang kemarin (2009), satu kuberikan untuk Muhary, tiga lainnya diminta orang. Sedang serius belajar menulis.”
“Aku rindu membaca pikiran, perasaan dan emosi yang kamu sembunyikan di balik kanvas.” Ia menganggap tidak perlu menjawab keherananku. “Sesekali kalau sedang di Makassar, bacakan buatku tulisanmu. Niatkan kembali melukis, kanvas siap menampung kombinasi warna tanpa batas, berbeda dengan tulisan, ledakan perasaanmu di kanvas tidak tercecer kemana-mana yang bisa saja menyakiti orang lain.”
Nasihat mendiang suami Ros Magdalena benar. Menulis, bagaimana pun mencari kata dan bahasa agar tidak melukai perasaan pembaca, tetap tidak bisa mengatur pembaca, kaca mata apa dan dalam suasana hati yang bagaimana. Sementara, kata-kata yang terlahir sudah bukan milik penulisnya lagi. Kami cukup banyak mendapat masalah dari pembaca jurnal perjalanan yang larut, sampai beberapa kali kelepasan berkata kasar. Kami meminta maaf, sungguh.
“Saat kembali melukis, saya memilih abstrak. Meninggalkan ekspresionisme dan impresionisme,” jawabku kemudian.
“Makin tersembunyi makin mudah terlihat olehku, Heheuheu,” sahutnya terkekeh. Serupa dengan tawanya ketika mengamati lukisan “Jalan Pulang” (2004) saat masih terpajang di dinding studio gambarku.
“Bagus, kamu sudah memutuskan berhenti mengundi nasib, tetapi patah hati itu? Sudah sembuh?” Tidak ada kritikan teknik melukis, komposisi warna, pemilihan subyek dan lain-lain. Ia menikmati kesepuhannya sebagai seorang seniman perupa dan manusia saat membaca karya pelukis yang lebih muda dan mula.
Kami kemudian pamit kembali ke Palu.
Tanpa duri Mawar yang membuatnya selalu terjaga dan tersadar akan hidup, ia hanya mampu bertahan hampir dua tahun.
Tiga hari terbaring sakit, menjelang hari yang dianggap sebagai hari kasih-sayang, pukul 23.45 Wita, 13 Februari 2011, ia menyusul kekasihnya Ros Magdalena.
Kepulangannya, membuat amanat menulis kisah hidupnya berlipat lebih berat. Ketika seseorang telah berpulang, sebaiknya yang masih hidup hanya menyebut-nyebut kebaikannya saja. Padahal amanatnya meminta kami dan penyair Muhary menulis kumpulan kegagalan dan kesalahannya. Berkas-berkas, dokumentasi dan file digital yang kami kumpulkan bahan pelengkap tulisan, kami serahkan kepada putranya sebelum kembali ke Palu, tiga hari setelah kepergiannya. “Tolong simpan dengan baik, sekali pun apa yang ada di sini ada dalam pikiran dan perasaan, mungkin suatu saat saya dan penyair Muhary membutuhkannya.”
Bulan Oktober 2011, menjelang meninggalkan Palu kembali ke Makassar, penyair Muhary mengajak menghadiri UWRF (Ubud Writer and Reader Festival) tahun 2011.
Tentu kuiyakan. Harapan berinteraksi dengan perempuan Bali yang sudah kusimpan beberapa tahun akhirnya menemukan jalan di kenyataan. Sebelum berangkat, kubayangkan bertemu sosok-sosok kembaran Ros Magdalena, perempuan Bali yang ingin kupotret. Bonus, bertemu dan mendengarkan penulis-penulis nasional dan dari negara lain berbagi pengalaman dan pengetahuan. Tercatat lebih dari 130 penulis lokal dan internasional dari 20 negara hadir. Sastrawan dan penulis Putu Wijaya, penulis tetralogi populer “Laskar Pelangi” Andrea Hirata, penulis novel perjalanan Trinity, penulis dan tokoh politik kiri Tariq Ali, peraih penghargaan Whitbread Proze dan Man Booker Prizer, DBC Pierre, sampai penulis sastra Salena Godden ikut serta.
Tema UWRF 2011 lah yang sesungguhnya memaksa kami harus ikut. “Nandurin Karang Awak: Cultivate The Land Within” diangkat dari gagasan almarhum Ida Pedanda Made Sidemen dalam sajak tradisionalnya.
Ida Pedanda Made Sidemen seorang penyair religius dari abad ke-20, satu bait dalam syair “Salampah Laku” karyanya berbunyi: “Jika tidak punya sawah untuk ditanami padi, maka tanamlah padi dalam diri sendiri.” Sesuatu yang kami lihat sendiri, dilaksanakan mendiang Ros Magdalena semasa hidup, dengan keterbatasan pendidikan formal dan ekonomi, dia tidak pernah letih menyuburkan hatinya, agar selalu tumbuh bibit-bibit harapan baik dari sana.
Usai seluruh acara UWRF 2011, Tuhan lalu mempertemukan kami dengan seorang Jero, yang memberi akses meliput upacara adat ‘Melampuan’ di dusun Bayunggede, Kintamani. Dia sudah menyiapkan kain panjang dan penjelasan singkat apa yang boleh dan tidak boleh, sebagai syarat busana menghadiri upacara adat yang belum dibuka untuk konsumsi turis ketika itu, yang kemudian menjadi oleh-oleh buat kami dan penyair Muhary.
Pengasuh Jero, fotonya menjadi latar situs ini, yang menawarkan diri menjadi model siluet sebelum upacara ‘Melampuan’ dimulai, yang memasangkan kain untukku berhasil membuatku tersipu malu.
Sekian tahun belum pernah lagi sedemikian dekat dengan seorang gadis, nafasnya hangat menyentuh kulit wajah saat memasangkan ikat kepala. Kami merasa Ros Magdalena seolah kembali hidup, ketika membangunkan salat subuh, melalui sosok dua orang perempuan Bali, Jero dan pengasuhnya.
_____
Keterangan Foto: “Perempuan Bali 1, 2011“