Hati 2

Bab #6.2. Upacara Kecil 17an

Tentara tidak pernah pensiun, gelar purnawirawan hanya menandakan tuntasnya pengabdian seorang tentara di dalam rantai komando organisasi ketentaraan. Suamiku bukan tentara resmi, dengan pelajar lain di Sulawesi yang menolak agresi militer I dan II setelah proklamasi kemerdekaan, bergabung dengan Laskar Harimau Indonesia dan LAPRIS, bergerilya pertahankan kemerdekaan. Andai ia tidak memilih jadi seniman, bergabung dengan tentara resmi republik setelah perang usai, suamiku akan tetap seperti ini, tidak mengenal purna, tidak mau pensiun dari sikap dan jalan hidup seorang patriot yang berprofesi sebagai seniman.

Menjadi istri dan ibu rumah tangga bukan profesi mudah dan pantas diremehkan, terlebih istri seniman berjiwa patriot. Mengadu apa pun dengan kecintaan pada bangsa dan negaranya, pasti kalah, harus rela kerap jadi nomor dua di hatinya.

“Satu putra kita sebentar lagi wisuda, ada juga yang bergelar sarjana di rumah ini.” Kata suamiku, memulai ritual obrolan tengah malam kami ketika terjaga bersamaan. Bapak dulu pernah kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta, pulang sebelum kuliahnya kelar. Dijemput utusan wali kota Makassar, diminta ikut bersama tim yang akan menyusun rencana induk tata kota Makassar. Hasilnya, ia mendapat gelar warga kota kehormatan, dan honor yang ia gunakan untuk berangkat ke Bali berujung pertemuan denganku.

“Harapannya belum selesai ia perjuangkan, jangan tambah lagi dengan harapan kita,” jawabku. Sulit menganggap gelar sarjana ekonomi yang akhirnya teraih oleh putra kami, bukan bagian dari menyelesaikan kegagalannya sarjana di masa lalu.

“Kuliah sampai sarjana maunya sendiri, bukan keinginanku.” Bantah suamiku. Aku juga bahagia, akhirnya gelar sarjana yang masih menjadi alat pendongkrak status sosial, kini bagian dari keluarga kami. Tidak sedikit penghematan kami lakukan agar mampu membiayai kuliahnya sampai selesai.

“Bapak jadi beli tanah dengan sisa uang dari membangun taman pemandian di Maros? Nanti biar anak-anak yang membangun rumah induk untuk kita semua di atasnya. Rumah ini besar waktu kita masih berdua, sekarang dua belas orang.” Tidak lama lagi bahu Bapak lebih ringan, putra kami siap mengambil sebagian beban tanggung jawab perekonomian rumah tangga. Kami sudah bisa memikirkan rencana hari tua kami untuk anak-anak.

“Itulah yang ingin kubicarakan denganmu sekarang. Saya ingin mendukung hobi pencinta alam anak kita, uang simpanan mau kuberikan untuk ia pakai tekuni hobinya.” Jawabnya.

“Uang itu uang Bapak, terserah mau dihabiskan untuk apa,” jawabku singkat.

“Kalau kamu tidak setuju, batal.”

“Aku tidak bilang tidak setuju.”

“Saya suami gagal kalau tidak bisa mendengar kata-kata tak terucap istrinya.”

“Sekarang tidak mungkin lagi mengerjakan proyek-proyek besar dengan penghasilan yang juga besar, ingat umur. Apa tidak lebih baik uang itu diatur dan dibagi, bukan dihabiskan.” Kataku mengaku tidak setuju.

“Umur cuma angka, semangat bisa mengatasi. Kelompok pencinta alam yang ia bikin dengan kawan-kawannya makin besar. Jakarta bikin Dewan Kesenian Jakarta, di sini kita juga bikin Dewan Kesenian Makassar. Di Bandung ada Wanadri yang didirikan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, di sini kita bikin Makassar Hijau Persada Indonesia dibantu veteran tentara pelajar. Makassar harus menjadi lokomotif untuk bagian Timur Indonesia, apa yang dibikin di belahan Barat, bikin juga di sini dalam semangat yang sama.” Jawab bapak.

Kalau suamiku telah berapi-api menjelaskan, tidak ada gunanya membantah. Setiap bantahan ada pematahnya. Satu-satunya cara meluruskan dengan bergabung, dari dalam perlahan membetulkan yang bengkok dan masih bisa diluruskan.

“Bikin kelompok pencinta alam sebenarnya rencana Bapak atau rencana anak kita?”

“Rencana dengan kawan-kawannya, saya hanya mendukung semampuku. Organisasi mereka sudah berbadan hukum, punya anggaran dasar, anggaran rumah tangga dan program tahunan. Tahun kemarin memuncaki gunung-gunung di pulau Sulawesi, tahun depan mendaki 7 puncak gunung tertinggi di Indonesia dan menerima calon anggota baru. Kegiatan tahun ini seru, saya kepingin ikut karena usulku. Menyusur hutan jalur gerilya tentara pelajar dari markas LAPRIS Polongbangkeng Takalar, sampai ke perbukitan di Pangkep tempat kawan-kawan Laskar Harimau Indonesia menyelinap dan menyengat pos-pos penjagaan tentara KNIL dan Gestapu. Bagian terberat dari perang gerilya kami ketika itu, bukan gelapnya hutan atau terkaman hewan buas, tetapi yang berjaga di pos-pos target serangan kami, orang kita, orang Indonesia!”

“Bisa berbulan-bulan dalam hutan, kalau mengikuti seluruh jalur gerilya.” Kataku mengalihkan pembicaraan sebelum Bapak kembali ditenggelamkan nostalgia.

“Sudah kupetakan jalur utamanya, seminggu cukup.”

“Makan, minum, dan tidur di mana?”

“Di tengah hutan. Mana ada gerilyawan mampir makan ke warung. Kami minta bantuan pasokan bahan makanan dan minuman ke rumah penduduk dilakukan berhati-hati. Kalau ketahuan, mereka yang jadi korban, satu rumah dihabisi tanpa ampun.”

“Aku mau ikut.” Jawabku tegas.

“Kalau kamu ikut, lelakimu jadi manja.”

“Bukan mau mengurus Bapak, mau merasakan yang dulu Bapak lalui.”

“Boleh. Kamu tim kesehatan dan dapur.”

“Kapan berangkatnya?”

“Sekarang tanggal 8 Agustus 1994. Kita berangkat tanggal 10 Agustus, sampai di puncak bukit di Pangkep pas tanggal 17 Agustus, kegiatan selesai sehabis upacara bendera depan gua kecil tempat kami istirahat dan bersembunyi dari kejaran tentara KNIL dan Gestapu. Saya inspektur upacara, pidatoku sudah siap.”

“Aku boleh ikut berpidato?” Tanyaku serius.

“Sebagai apa? Kalau saya sebagai yang tertua di antara peserta, veteran tentara pelajar yang tahu jalur, dan berusaha mewariskan patriotisme ke dalam dada pemuda-pemudi Indonesia harapan bangsa yang ikut kegiatan ini.”

“Sebagai rakyat biasa.” Jawabku makin serius.

“Heheheu. Tentu saja boleh, kalau panitia dan peserta menerima.”

“Harus diterima.”

“Kok memaksa?”

“Dulu Bapak berjuang untuk siapa? Untuk rakyat kan? Kalau aku yang rakyat tidak boleh berpidato, jangan-jangan perjuangan itu untuk diri mereka sendiri dan majikannya masing-masing, hanya mengatasnamakan rakyat Indonesia.”

“Kupastikan kamu ikut berpidato.”

Kalau ia bilang mendukung semampunya, itu sama dengan habis-habisan.

Keesokan pagi di halaman rumah, putraku dan kawan-kawannya mulai mendirikan rangka dinding panjat setinggi lima meter, lebih tinggi dari atap rumah kami yang kecil.

Tadinya kesal mereka dibelikan dinding latihan panjat tebing, sementara atap rumah cuma ditambal sana-sini. Namun, melihat semangat anakku dan kawan-kawannya ingin segera mencoba panjat dinding aku ikut bersemangat, lupa kalau keputusan suamiku semalam kutentang. Semangat mereka membuatku merasa dunia yang tidak lama lagi kami tinggalkan baik-baik saja di tangan mereka.

“Ayo, coba tante Ros!” Kata kawan anakku, mendapati sorot penuh semangat dari mataku.

“Panjat pohon kelapa waktu kecil aku biasa, petik nyiur dibuat jadi kerajinan. Dinding miring-miring begini tidak berani.” Jawabku sebelum masuk ke dalam.

Di dalam kamar, suamiku sedang persiapkan barang-barang yang akan ia bawa menyusur hutan ke dalam ransel kecil. “Baju yang mau kamu bawa mana? Gabung ke ranselku saja.”

“Cukup tiga set atasan, bawahan sama dalaman. Kalau ada tempat bisa mencuci baju, kita mampir,” jawabku sembari memasukkan bajuku ke dalam ransel suamiku.

“Tempat bermalam selalu di tepi sungai atau telaga, tetapi jangan mencuci pakai sabun, karena airnya untuk minum penduduk sepanjang aliran sungai. Tolong jas hujan ini dibawa juga.”

Sumber kekuatan lelaki berasal dari api semangatnya, sementara kekuatan kami kaum perempuan bersumber dari ketabahan. Menahan pelecehan selama hampir dua tahun dari pengunjung tempat hiburan malam tempatku bekerja, aku sanggup asalkan tekad suatu waktu berhenti kerja dari sana aman dari luka.

Bukan kebetulan dua sumber kekuatan yang berbeda tersebut dibutuhkan sepasang suami dan istri membangun rumah tangga, dibutuhkan ibu dan bapak membesarkan dan mendidik anak-anaknya.

Selama menapaki jalur gerilya tentara dan laskar pelajar, perbedaan sumber kekuatan peserta perempuan dan lelaki terlihat jelas.

Kaum lelaki harus berjuang menjaga api semangatnya menapak jalur gerilya, mengetahui ini hanya reka ulang bukan gerilya sebenarnya, bukan pertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamirkan.

Sebagian yang berhasil menjiwai perjalanan para gerilyawan jadi tahu menghargai perjuangan mereka, tidak ingin sia-siakan kemerdekaan yang diperjuangkan bertaruh nyawa. Sebagian lain hanya mengejar pengakuan berupa piagam yang menanti saat upacara 17 Agustus, dipajang di dinding, dilampirkan saat melamar pekerjaan.

Sementara aku dan tiga orang peserta perempuan lainnya hanya tahu dengan ketabahan, lapar dan haus, hutan belukar, lembah dan bukit akan mampu kami lalui.

“Bapak mau aku urut?” Kataku berbisik ke kupingnya, tidak ingin peserta lain mendengar.

“Nanti di rumah, tidak baik terlihat peserta lain. Pidatomu sudah siap? Nanti bicara tentang apa?”

“Belum tahu.” Jawabku jujur.

“Hah?” Suamiku terkejut. “Lebih baik batalkan kalau pidatomu belum siap. Anak-anak peserta kegiatan ini pemuda-pemudi harapan bangsa, nanti pagi menutup perjuangan dengan sentuhan akhir pengalaman yang akan mereka bawa seumur hidup.”

“Lukisan Bapak malah banyak yang tidak diberi sentuhan akhir.” Bantahku.

“Karyaku sendiri, tidak menyangkut pikiran dan perasaan orang banyak yang ikut kegiatan ini!” Kata suamiku meninggi sambil berusaha tetap berbisik.

“Sebentar pagi saat upacara kalau aku berdiri di samping Bapak, itu artinya pidatoku sudah siap. Kalau berdiri di belakang, batal.” Jawabku.

“Pidato itu cuma tiga bagian, pembuka, isi atau apa yang ingin kamu sampaikan, kemudian penutup. Sampaikan dengan bertutur, pertama karena orang suka mendengar kisah, kedua karena kisah membuat kata-kata mengalir lancar, tetapi jangan keasyikan cerita, bisa pingsan peserta upacara.”

“Aku siap.” Jawabku sebelum kembali tidur.

Untuk apa menyusun teks pidato. Sebagai rakyat yang menggaji penguasa, aku punya segudang pikiran dan perasaan yang akan kutumpahkan nanti pagi.

Upacara kecil memperingati hari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus seadanya, berlangsung khidmat. Suamiku berpidato berapi-api di antara peserta upacara yang sebagian besar terlihat kelelahan dan menahan kantuk, terkejut membuka mata lebar-lebar setiap kali Bapak memekik “Merdeka!”.

“Kupikir zaman ketika aku lahir kemudian berjuang merebut dan pertahankan kemerdekaan di masa remaja adalah zaman edan. Ternyata zaman kalian lebih edan lagi. Tahun-tahun menyedihkan mewarnai perjalanan yang panjang dan melelahkan. Badai ini meluluhkan semangat juang kita. Keserakahan pemimpin-pemimpin kita tidak dapat dibendung lagi. Bagai air bah menggenangi seluruh daratan tanah air. Kita tersisih dan terlempar ke dalam lumpur. Kita terhibur dari duka oleh ‘Mutiara walaupun dalam lumpur tetap mutiara’. Begitu salah satu bait penyair Perancis, Andre Gide. Memang! Tetapi apa kalian mau terus dibenamkan ke dalam lumpur?”

“Tidak!” Pekik peserta upacara kecil memperingati hari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus seadanya, yang kehilangan kantuk dan lelah di puncak bukit kecil di kabupaten Pangkep, depan gua batu kecil tempat kami beristirahat semalam.

bab-6-2

“Keluar dan berkilau teranglah. Zaman edan penuh kegelapan membutuhkan banyak cahaya ketulusan, kejujuran, dan kebajikan. Bawa bibit cinta kalian pada tanah air kita selama mengikuti kegiatan ini dan berinteraksi dengan penduduk, tebarkan kemana saja kalian berlabuh. Kepakkan sayap kalian, tebarkan benih-benih kebajikan ke seluruh negeri, kalian bukan perkutut yang hinggap di dahan-dahan kecil sebelum disangkarkan menjadi burung penghibur penguasa. Kalian garuda-garuda muda penebar benih kebajikan ke penjuru negeri yang gersang dan kering oleh keserakahan. Teruskan perjuanganku dan kawan-kawan gerilyawan yang pernah melintasi lapangan ini, jangan biarkan nyawa dan semangat kami mati sia-sia. Sejak dahulu kami berhadapan dengan bangsa sendiri yang menjaga pos keamanan penjajah, sekarang pun demikian. Kalian berhadapan dengan bangsa sendiri yang terjajah keserakahan. Organisasi negara boleh acakadut dengan aturan dan sistem yang tidak memihak amanat penderitaan rakyat perintah Undang-Undang Dasar 1945, tetapi sebagai bangsa dan rakyat yang lebih dahulu ada sebelum negara, kita harus tetap bersatu, membetulkan yang salah, meluruskan yang bengkok, mengingatkan yang lupa, dan mengganti yang rusak. Perjuangan kalian lebih berat, tetapi jangan menyerah. Lelah dan istirahat boleh, tetapi menyerah, bukan pilihan. Kalau pidato tanpa tindakan bisa selesaikan persoalan, aku sanggup berbicara sampai tengah hari. Tetapi, pidato seperti halnya niat, bukan apa-apa kalau tidak dikerjakan. Selamat meneruskan perjuangan kami. Merdeka!”

Aku, seperti peserta upacara lain terkesima dengan pidatonya. Tidak sadar ketika suamiku menepuk bahuku, mengingatkan sekarang giliranku berpidato. Aku melangkah naik ke atas tikar penanda podium.

“Kalian nanti mesti ada yang menjadi penguasa, pengusaha, politisi, pejabat, wakil rakyat, tentara, polisi, ulama, pandita, seniman, artis, guru, insinyur atau menjadi apa saja profesi yang dibutuhkan negeri kita. Pesanku, jangan jadi anak durhaka pada ibunya kalau ingin negeri kalian selamat. Aku dan ibu-ibu lainnya, rakyat dan tanah air yang melahirkan kalian, tidak akan pernah rela dengan kedurhakaan. Itu saja pesanku sebagai rakyat dan seorang ibu. Selesai.” Kataku sebelum turun, berdiri sejajar dengan peserta upacara lainnya.

Lagu-lagu perjuangan dipekikkan peserta upacara, kami saling berangkulan dan bersalaman sebelum mengemasi perlengkapan dan sampah, kembali ke Makassar.

Upacara kecil memperingati hari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus seadanya, membekas di hati peserta kegiatan napak tilas jalur gerilya tentara pelajar, laskar harimau Indonesia dan LAPRIS.

Seorang dari mereka pernah menjadi lurah yang disukai dan disayangi warganya di lingkungan rumah kami. Dua orang menjelang reformasi 1998 berangkat ke Jakarta menyuarakan tuntutan mahasiswa dan rakyat reformis. Satu orang lagi, datang dalam keadaan mabuk menjelang pagi, sampai tengah hari masih mendengkur di ruang tamuku.

Cinta tanah air serupa dengan cinta yang lain, kerja keras sebelum menjelma jadi bagian dari diri sendiri. Kecintaan pada tanah air Indonesia mustahil terbangun hanya lewat doktrin, slogan, pencitraan dan propaganda tanpa pernah berinteraksi langsung dengan penderitaan rakyat dan tanah air. Pemurniannya lewat kerja keras yang berada di antara niat dan tujuan. Hanya yang tak harap kembali dicinta yang mampu tulus mencintai.

Mudah jika ingin menilai cinta seseorang pada negerinya tulus atau tidak, lihat bagaimana ketika cintanya tidak berbalas, tidak menghasilkan popularitas, materi, dan kekuasaan.

🌹 Dukung kami menuntaskan kisah hidup Ros Magdalena via trakteer atau buy me a coffee.

Baca Juga.

Img 20191202 184105 509 Animation

BAB #4 Sehidoep Semati

Adi mengajak ikut ke Makassar menemui orang tuanya, lalu menikah di sana. Memang aku duluan yang meminta ikut bersamanya ke

Img 20201116 080237 468 Edited 2

BAB #5 Kampoeng Para Radja

Kemarin kami ke Kassi-Kassi, Jeneponto. Daeng Geleng orang kepercayaan bapak semasa bekerja dan tinggal di sana, meninggal dunia pukul 3

Fave 5ab

BAB #6.1. Harmoni

“Tidak boleh asal bikin?” Tanyaku lugu. “Boleh, kalau mau asal jadi. Sebelum melukis cari kanvas terbaik sesuai ukuran, warna-warni cat

Inferior

BAB #7 Surat Panjang Sahabat

Anak-anak kecil di Makassar sebelum berkelahi, biasanya debat kusir dulu. Satu kalimat kunci menangkan perdebatan, sesiapa lebih dahulu menyebut pasti