Img 20201116 080237 468 Edited 2
Patung Semen Penari Bali, AW 1977. Foto 2020 di Kassi-kassi, Jeneponto

BAB #5 Kampoeng Para Radja

Kemarin kami ke Kassi-Kassi, Jeneponto. Daeng Geleng orang kepercayaan bapak semasa bekerja dan tinggal di sana, meninggal dunia pukul 3 sore, malam lepas Isya jenazah sudah dikebumikan. Aturan temurun, jangan mengundang kerusakan karena menunda bayar utang, memakamkan jenazah dan pernikahan, masih dipegang teguh. Daeng Geleng orang baik. Tulus abdikan diri pada yang tidak berkerabat dengannya, bukan pejabat, bangsawan, atau orang kaya.

Bertahun-tahun setelah kami pindah kembali ke Makassar, sebulan sekali daeng Geleng selalu berkunjung membawa sekarung hasil kebun meskipun usianya sudah sesepuh suamiku. Jawabnya tiap kali kuminta jangan repot-repot bawa sesuatu kalau ke Makassar, “Bu Ros, kalau bukan Bapak sarankan berkebun, apa yang mau kubawakan ki?”

Kemarin pagi, daeng Geleng datang tidak bawa apa-apa.

“Sehat-sehat Haji?” Tanyaku, melihat daeng Geleng datang memakai songkok dan gamis putih.

“Alhamdulillah, itu mi na kudatang. Minta maaf tidak sempat pamit sebelum berangkat haji. Maafkan salahku yang lain Bu Ros.”

“Apa gunanya kesalahan kalau bukan untuk dimintakan maaf dan dimaafkan?” Sambut suamiku yang baru selesai mandi, bergegas ke ruang tamu merangkul sahabatnya. Tidak berkata-kata, mata keduanya basah, daeng Geleng kemudian pamit pulang. Sejak pernah mengalami stroke ringan, bapak lebih mudah menangis ketimbang aku. Di usia kami, selalu terlalu banyak perasaan yang menuntut diungkapkan bersamaan.

Dua keanehan di satu pagi, suamiku mendadak mandi pagi tanpa sebab dan daeng Geleng datang tidak membawa sesuatu kecuali permintaan maaf. Terjawab setelah kami menerima kabar haji Geleng baru saja berpulang. Setibanya di Kassi-Kassi, anak-anak daeng Geleng bercerita kalau ayah mereka sudah seminggu terbaring tidak sadarkan diri di rumah sakit. Lalu siapa yang berkunjung ke rumah kami tadi pagi? Bapak segera merangkulku, menahan agar tak bertanya. Kembali ke rumah tengah malam, sampai aku sibuk menjemur cucian pagi ini, suamiku tidak menjelaskan kejadian kemarin. Satu-satunya yang bisa kuanggap jawaban, aku merasakan kebahagiaan tidak biasa saat seorang sahabat baru saja berpulang. Kebahagiaan yang membuat kami malu kalau pagi ini masih berduka.

Baru mau bertanya kejadian kemarin, suara tawanya terdengar dari ruang tamu. “Heheheu. Ros, tolong ke sini sebentar.” Panggilnya memintaku ke depan.

“Ada apa?” Tanyaku. Kukira ingin menjelaskan kejadian kemarin. Ternyata Boja membawa lukisan jalan setapak karyanya yang masih berbau minyak cat lukis.

Boja tetangga kami. Semasa kanak-kanak sering mendengar bapak mendongeng bersama anak-anak lain. Menghilang habiskan masa remaja di luar, dan muncul kembali menyewa garasi tetangga di belakang rumah. Jadi studio melukis, selesaikan tugas-tugas kuliah dan pekerjaan. Ia juga mengajak anak-anak sekitar membuat usaha sablon di sana, termasuk putra bungsuku. Tanggal 17 Agustus tahun 2000 lalu, foto putraku, Boja, dan enam orang anak lainnya di puncak Gunung Bawakaraeng terpajang di halaman tiga koran ‘Pedoman Rakyat’, “Pendaki Termuda Kelas II SD Ikut Upacara HUT RI di Gunung Bawakaraeng Menyambut Milenium Baru”. Kehebohan kedua setelah pernah teratur membuat prediksi nomor buntut, tidak peduli orang mencibir, bapaknya ceramah Jumat anaknya dukun togel. Menggunakan komputer dan rumus matematika yang tidak kumengerti, Boja membuat prediksi nomor togel untuk orang-orang kampung kami yang kecanduan judi. Ia kesal dan sedih melihat lembaran kode buntut ramai dijual orang setiap hari pemutaran, berjudi dan syirik jadi satu.

Prediksinya tidak akurat 100%, hanya nomor berpeluang paling tinggi supaya orang-orang tidak kalah dan kembali modal, atau kalau menang paling banyak dua kali lipat. Boja berhenti menempel prediksi di pos ronda setelah tersadar, tidak ada gunanya mengingatkan orang lain tentang indahnya akidah yang lurus dan benar saat perut mereka lapar, dan tidak berguna ingatkan perut yang selalu kelaparan walau sedang kenyang.

“Tolong buat dua gelas kopi pahit untukku dan Boja.”

“Pahit?”

“Kami butuh itu,” jawabnya tersenyum menatap Boja.

Sehabis mengantar kopi untuk Boja dan bapak, aku menyalakan televisi, meluruskan badan usai menari pontang-panting sejak subuh mengurus rumah.

“Boleh ikut mendengar?” Tanyaku heran, mengapa belum terdengar perbincangan dari ruang tamu.

“Boleh Tante Ros,” jawab Boja.

“Lukisan ‘Jalan Pulang’ karyanya berhasil menghiburku. Melewati jalan setapak di antara pepohonan dan ilalang yang dibakar matahari, seolah pengalaman dahsyat.” Tambah suamiku.

“Tidak boleh kubuat jadi lukisan?” Tanya Boja keheranan.

“Mau diratapi kalau gagal juga boleh. Pernah seperti lukisanmu. Sehabis berjuang, aku merayakan hidupku yang tunai. Kupikir berikutnya landai, ternyata tidak. Untuk menghiburmu, biar kuamati lukisanmu sekali lagi.”

Kebiasaannya kambuh, menelanjangi kisah-kisah tersembunyi di balik lukisan karya orang, tanpa membahas teknik, gaya, warna, komposisi dan lain-lain.

Lukisan Boja tidak buruk, ia pernah belajar melukis di sanggar seni rupa di Benteng Rotterdam semasa sekolah dasar sampai tamat sekolah menengah. Suamiku ia anggap guru lukisnya setelah beberapa kali berdiskusi tentang lukisan. Menjadi istri pelukis puluhan tahun, ratusan kali jadi model lukisan, aku tahu menilai lukisan bagus dan buruk menurut seleraku yang sudah terbentuk. Gayanya melukis bukan gaya suamiku yang suka berpindah-pindah dari Basuki Abdullah ke mendadak Affandi. Gaya aslinya tidak terpengaruh maestro seni rupa manapun, hanya ia pakai saat membuat lukisan potretku dan potret diri.

Dari teksturnya, Boja tidak menggunakan kuas tetapi pisau palet. Proses menyelesaikannya lama, paling tidak butuh tiga kali melapisi kanvas. Lapisan terakhir hanya berupa kesan, arah cahaya dan bayangan tegaskan bentuk subyek lukisan. Sesenti demi sesenti cat disapukan lembut, mengubah tekstur, warna dan gradasi, menggunakan pisau palet kecil yang lebarnya kurang dari setengah kuku kelingkingku. Paling cepat 3 hari baru selesai. Aku pernah melihat lukisan yang mirip dengan gaya yang ia pakai, lupa namanya, pelukis dari Belanda.

“Vincent van Gogh!” Pekik suamiku. “Kau tahu kisahnya menemukan aliran impresionisme?”

“Belum, mungkin terlalu suka ‘Starry Night’ sampai gayanya yang terpakai.”

“Ah! Bukan itu mengapa gayanya kau pilih, jelaskan padaku!” Bantah suamiku.

“Kalau punya penjelasan, saya menulis bukan melukis.” Jawab Boja sekenanya.

“Tidak kurang dari sejuta sapuan kecil pisau palet Van Gogh sapukan ke atas kanvas melukis ‘Starry Night’, kau tahu mengapa ia sesabar itu?” Sambung suamiku.

Tersenyum sendiri mendengar penjelasannya. Tanpa duduk di sana, kupastikan suamiku semakin kumat. Berbicara sambil melukis di udara meniru gerakan tangan pelukis menggunakan pisau palet, melukis segaris demi segaris, mata terpejam dan mulut manyun satu senti.

“Vincent van Gogh kecewa! Tidak cukup sejuta sapuan kecil di ‘Starry Night’, ia terus membuat banyak lukisan lagi menggunakan teknik serupa. Menumpahkan kecewa dengan sabar, sedikit demi sedikit mengubah kekecewaan jadi keindahan, akhirnya dikenal dunia sebagai aliran impresionisme. Sayang, kekecewaan di ‘Jalan Pulang’ masih receh. Cinta?” Kata bapak lalu menghempaskan punggung ke kursi.

Mendengar perkataan suamiku meledek cinta Boja receh, harus susah payah menahan tawa membayangkan raut wajah Boja. Ia belum tahu, selain melukis suamiku suka berteater dan menulis naskah drama.

“Ros! Boleh kuceritakan kisah kita?” Tanya suamiku.

“Semua Boja sudah tahu.” Jawabku. Sejak punya studio sampai ia tutup, Boja bebas keluar masuk rumah kami kapan saja. Semua kegembiraan, kesedihan, kemarahan sampai umpatan pernah ia dengar sendiri.

“Ada yang belum.” Sahut suamiku.

“Tidak apa, ceritakan saja,” kataku lagi.

“Barter. Ceritakan kisah dibalik ‘Jalan Pulang’ aku ceritakan kisahku dengan Ros.” Tambah suamiku.

Boja mulai bercerita. Akhir tahun 1997 lalu baru saja lolos dari krisis, lubang jarum terakhir. Tidak mau lagi keluar masuk lubang jarum yang ia bikin sendiri. Beruntung pekerjaannya selesai, putraku dan anak-anak tetanggaku yang ikut bekerja di pulau pesisir Sulawesi Selatan pulang membawa gaji dengan selamat.

“Pasal Force Majeure dalam kontrak-kontrak pekerjaanku tidak pernah terpakai. Tidak ada gempa, tsunami, hujan badai atau kejadian alam luar biasa lain yang membuat pekerjaan tertunda, atau dibatalkan. Betapa terhormat seorang pekerja kalau Tuhan benar-benar turun tangan ikut menyelesaikan pekerjaan. Kupikir, bentuk bantuan Tuhan haruslah berupa sesuatu yang membantu kelancaran pekerjaan, selain itu gangguan dan bukan dari Tuhan. Desember 1997 kurs rupiah terhadap dollar Amerika mulai terpuruk dari 2.500 rupiah ke 12.000 rupiah. Krisis moneter bukan bagian dari force majeure, dan Tuhan tidak mungkin berspekulasi dengan valuta asing, mesti pekerjaan manusia. Harga material naik 400 sampai 500 persen, pemberi pekerjaan membantu menaikkan anggaran yang sudah disepakati sampai 100 persen. Masih kurang sekitar 300 persen kalau saya tidak mengambil laba.”

“Force Majeure dari bahasa Perancis, berarti kekuatan lebih besar, atau lebih tinggi. Sewaktu mengerjakan proyek taman wisata pemandian di Kassi-kassi Jeneponto dan proyek lainnya, pasal itu kuartikan sebagai kehendak Tuhan. Tetapi yang ingin kudengar cerita lain. Belum pernah kontraktor berhasil loloskan pekerjaan dari kondisi kritis, membuatnya melukis bergaya impresionis,” potong suamiku tidak ingin Boja selesaikan cerita.

“Kejadian itu memberiku pemahaman baru tentang kehendak Tuhan.” Bantah Boja tidak terima dipotong, lebih tepat tidak terima ketahuan. Bukan sebab utama melukis jalan setapak penuh lumpur yang sedang ia ceritakan.

“Setelah pertanyakan mengapa Tuhan izinkan krisis moneter terjadi, lepas dari ulah sengaja manusia, menabung kesalahan menunggu waktu roboh, hanya dengan izin-Nya barulah segala sesuatu terwujud. Lalu kau mungkin berhasil temukan sebab-sebab rasional mengapa harus bersangka baik, kau pun riang gembira ingin melukisnya. Istriku Ros lahir tanpa tahu siapa ibu dan bapaknya, sampai hari ini dia belum selesai mengumpulkan prasangka baik pada ketetapan Tuhan, yang jelas bukan pilihannya, toh tidak membuatnya ingin melukis.”

“Bapak ingin mendengar roman.” Jawab Boja pasrah.

“Memang!” Sahut suamiku, dan aku sepakat.

Siapa yang mengenang pekerjaan tidak ada habisnya di hari tua? Jelas tidak seasyik mendengar kisah percintaan anak muda di hari tua, kebahagiaan yang pernah kurasakan seolah terulang kembali.

“Lukisanku bukan perayaan melewati jalan setapak terkepung ilalang dan pepohonan yang terbakar meriah. Sebaliknya. Gambaran seorang pejalan yang akan melalui dengan hati riang, berusaha menabung kesabaran lewat sapuan pisau palet segaris demi segaris.”

“Pepatah arif orang Makassar yang sekarang dianggap naif, cocok untuk lukisanmu. Lelaki di Makassar hanya mati karena dua hal, karena ujung lidah sendiri demi memegang omongan, atau karena ujung badik orang demi tegakkan siri’. Lukisanmu gambaran tekad memegang teguh janji, walau risikonya terbakar habis. Riang gembira? Jangan kira nestapa yang kau sembunyikan jadi lumpur, akar rumput dan pepohonan tak terlihat. Berapa usiamu sekarang?”

“28 tahun.”

“Kau sanggup dan tidak menyesali janjimu? Aku menikah di usia 40 tahun, lebih lama atau lebih cepat, tergantung kau sendiri. Jangan sekali-kali tergantung kepada orang lain, mau dihalangi orang lain, apa lagi digantung dan dipermainkan orang lain. Tidak ada pembenaran dengan alasan apa pun kalau kau sampai menunda menikah setelah menemukan perempuan yang cocok dan mau kau nikahi. Kesulitanmu nanti, terlalu banyak pilihan. Karakter yang muncul saat lelaki berhasil memelihara janji pada perempuan, memberi rasa aman pada semua perempuan. Kalau mampu setia dengan satu perempuan, bukan masalah, lain kalau kau cari perkara, setia ke semua perempuan. Jangan berpanjang-panjang, waktu selalu kurang. Dia mau kau mau, nikahi. Kau mau dia tidak mau, cari yang mau. Kau tidak mau dia tetap mau, bukan urusanmu. Terpenting, nikahi di mana ada ridha Allah untuk menikah. Aku telat menerima ridha dari kedua orang tuaku untuk menikahi Ros, setahun lebih menunggu sampai hampir durhaka, tidak ada apa-apanya dibandingkan yang didatangkan ridha Allah melalui ridha orang tua, termasuk jika itu berada di keputusan tidak menikah.”

Bapak dan aku tahu apa janji Boja dan mengapa. Aku yakin, kalau perempuan itu tahu Boja berinisiatif berjanji, melindungi agar tidak melakukan kebodohan yang sama, dia mesti meminta Boja tidak berjanji. Mengapa orang muda selalu terburu-buru berjanji? Bagaimana kalau ternyata sebelum janjinya tunai, jatuh cinta lagi. Hati manusia dan takdir siapa yang tahu.

“Sehabis menyelesaikan lukisan ‘Jalan Pulang’, harus sanggup. Tiga sampai empat tahun dari sekarang dia sudah menikah dan janjiku di pusara ayahnya lunas. Lebih cepat atau lebih lama, banyak yang bisa kukerjakan, tidak sekadar menunggu.”

“Tahun depan ada agenda pameran lukisan di Jakarta. Melukislah sebanyak mungkin, nanti kuberikan stok kanvas kosong berbagai ukuran dan cat baru sisa pameran di kampusmu dulu. Aku yang putuskan pantas dipamerkan di Jakarta atau tidak.”

“Saya melukis cuma untuk bahasakan kata-kata yang gagal kutemukan, melembutkan budi imbangi keliaran akal ketika dikuasai nafsu.”

“Melukislah lagi, dengan begitu kau membentuk diri. Kalau terjebak takdir tanpa pilihan, berarti kau sedang dibentuk. Apa yang terjadi sekarang hasil kerja rentetan takdir satu ke takdir berikutnya. Tidak terbayangkan, kanak-kanak yang dibawa ayahnya main ke Kassi-Kassi, kini kawanku berbincang tanpa jarak usia. Di Kassi-kassi istriku terkejut dipanggil Karaeng, beruntung almarhum daeng Geleng akhirnya mau berhenti memanggil kami Karaeng, cukup ibu-bapak saja.”

“Almarhum?” Tanya Boja terkejut. Ia kenal daeng Geleng, beberapa kali bertemu di sini.

“Kemarin Daeng Geleng datang sendiri berpamitan.” Jawab suamiku, tanpa menceritakan yang sebenarnya.

“Boleh aku yang ceritakan yang kita alami di Kassi-Kassi?” kataku dari depan televisi yang acaranya mulai membosankan.

“Kemarilah Ros,” sahut suamiku.

***

Sejak menerima tawaran Adi meninggalkan Singaraja ikut ke Makassar, dan akhirnya mendapatkan restu dari kedua orang tuanya. Hidup belum berhenti memberiku kejutan, kalau bukan jatuh jauh dari yang kuharapkan, terbang tinggi lampaui harapan.

Ajakan dan bujukan Adi tetap menikah mengabaikan restu orang tuanya yang tidak kunjung turun, kutolak. Belum pernah merasakan direstui atau tidak direstui orang tua sendiri, tersanjung saat merasakan penolakan orang tua untuk pertama kali.

Lewat mereka berdua, Tuhan menitipkan takdir Adi terlahir ke dunia, mengabaikannya sama saja memutuskan hilang dan tersesat, lupa jalan pulang. Terlebih penolakan memberi restu, bukan karena asal usul dan masa laluku yang tidak jelas, semata-mata ingin memastikan rumah tangga yang akan dibangun putranya denganku, menyisakan jalan masuk bagi ridha Tuhan.

Selesai? Belum, masih jauh dari kata selesai. Gunjingan, fitnah, hinaan, cibiran, hardikan, makian biasa buatku, tidak sanggup merendahkan diriku yang sudah berada di dasar. Tidak merasa harus marah atau tersinggung diperlakukan demikian, aku tahu tempatku dan mereka sedang menunjukkan di mana pikiran dan dirinya berada lewat omongan dan kelakuan.

Namun, menghadapi sanjungan, penghormatan, aku keok. Seorang sudra sepertiku, atau kalau ada kasta di bawah sudra itulah kastaku. Manusia yang tidak jelas siapa orang tuanya, kaget saat dirajakan orang-orang sekampung.

Semasa Boja kecil, ia dan saudara-saudaranya sering diajak orang tuanya tiap akhir pekan main ke sana. Setiap mobil Land Rover warna kelabu perak berplat merah memasuki gerbang tempat membayar karcis, penjaga loket mengirim utusan ke rumah yang kami tinggali.

“Ada datang tetangga ta dari Makassar.”

“Terima kasih, tolong beri tahu Daeng Bajik sama Daeng Kulle supaya menemani selama di sini, bantu menjaga anak-anaknya bermain sampan di laut.” Aku dan suamiku mengenal baik bapak dan ibu Boja. Pantai pasir putih Kassi-kassi berhadapan dengan laut Flores, selalu ada pusaran air kecil selepas garis pantai yang sewaktu-waktu membesar. Mungkin karena pusaran air berbentuk gelang sampai kabupaten ini namanya Jeneponto, gabungan dua kata bahasa Makassar berarti air dan gelang.

“Baik Karaeng!” Jawab utusan petugas penjaga loket gerbang masuk.

Setiap orang-orang kampung menyebutku ‘karaeng’ atau ‘yang mulia’, bulu kudukku berdiri.

Dahulu disuruh-suruh, kini punya selusin pesuruh. Butuh waktu setahun lebih sebelum terbiasa dirajakan orang sekampung.

Saat tiba waktu menempuh jalan berikutnya, tinggalkan kemuliaan yang tulus diberikan orang sekampung tanpa dibuat-buat. Jiwaku yang keenakan dirajakan menolak pindah.

“Histeris, kerasukan Karaeng Lompo kata orang sana. Tiba-tiba lancar berbicara bahasa Makassar halus, minta rokok kretek dan kopi hitam.” Tambah suamiku.

“Apa kata Tante Ros waktu hilang kesadaran?” Tanya Boja penasaran.

“Aku tidak sadar, Bapak yang tahu.”

“Kedatangan kami sekeluarga sudah mereka terima baik, dilayani dengan baik, apakah ada kekurangan mengapa pindah. Tentu kujawab tidak ada, justru karena teramat baik kepada kami sekeluarga yang membuatku khawatir bila tiba waktunya pergi. Tetapi bukan itu mengapa harus pindah, selain karena kontrak sudah selesai, proyek berikutnya membangun taman wisata di kabupaten Maros harus segera dimulai. Bukan api saja yang membuat seseorang gagal melewati jalan yang dipilihnya, juga kenyamanan dalam perjalanan. Kalau kurayakan, aku merayakan kehilangan kenikmatan, bukan keberhasilan meraih nikmat.”

“Kalau bisa kembali lagi ke Kassi-kassi, ingin habiskan hari tua di sana,” kataku membayangkan wajah ramah penuh senyum Daeng Tutu dan istrinya, Daeng Kulle, Dang Bajik dan Daeng Geleng.

“Tetapi sepasang anak bungsu kita belum siap mengarungi hidup sendiri.”

“Kalau terus kita dampingi, mereka tidak pernah siap.” Jawabku.

“Benar, tetapi apa kamu tega?” Tanya suamiku.

Aku tidak menjawab, suamiku terdiam, dan Boja kembali kebingungan.

“Rasanya seperti mewariskan kesalahan untuk anak cucu kita,” gumamku.

“Dosa turunan itu tidak ada sayang, kecuali kita memilih melanjutkan kesalahan dari orang tua kita ke anak-anak. Apa kita menghilang setelah mereka lahir? Apa kita menentang habis-habisan calon istri pilihan mereka karena tidak sesuai harapan kita? Kalau memang kita belum maksimal membantu mereka belajar dan memperbaiki diri, aku masih punya sesuatu untuk kita wariskan.” Jawab Bapak menghiburku.

“Berharap yang belum ada, yang nyata saja sering bikin kecewa.” Bantahku. Ingin suamiku benar-benar hanya menyiapkan hari senja, merelakan yang tidak selesai di ujung waktu kami. Uang royalti mengundang masalah baru lebih besar dan makin banyak, ketimbang yang bisa diselesaikan. Doa yang kubaca tiap selesai salat, berikanlah kami kebaikan di dunia dan di akhirat, bukan kekayaan di dunia dan di akhirat. Dahulu ia menasihati agar tidak mengejar kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan. Mungkin suamiku mulai pelupa, sebulan lagi usianya 76 tahun.

“Bukan uang royalti tujuan utamaku, tetapi contoh dari seorang bapak yang masih berusaha sungguh-sungguh menuntut hak tanpa merugikan orang setelah kewajibanku tunai demi anak-anaknya. Warisan pelajaran terakhir untuk anak-anak kita,” bantah suamiku.

Usia sepuh ternyata belum menumpulkan kepekaan rasa dan batinnya.

“Di Kassi-kassi, ada kesalahan yang kuperbuat akibatnya masih terasa sampai hari ini,” kataku sebelum kembali bercerita.

aanburhany-20201222-0001-01-resized-2
Foto keluarga pengunjung taman wisata Kassi-kassi, Jeneponto 1978

***

Siapa bisa menebak ke mana takdir membawa hidup seseorang? Aku memang memilih takdir menikah dengannya walau usia kami terpaut jauh, tetapi bukan aku yang mengatur pertemuan. Bukan aku yang memilih setelah hidup di pulau pemecah ombak selat Makassar dengan sepasang anak, kini suamiku mengajak pindah ke Jeneponto, menerima tawaran bekerja 100 kilometer dari kota Makassar.

Lokasi yang akan Bapak ubah menjadi tempat wisata, hutan kecil di tepi laut dahulu tanah kering dan gersang seperti kebanyakan lahan di Jeneponto, tandus dan berbatu. Pemiliknya berhasil menghijaukan kembali dengan menanam tiga jenis pohon selama tiga periode. Jenis pertama pohon yang sanggup tumbuh besar di lingkungan minim air tawar, dan pohon bakau penahan laju abrasi ombak Laut Flores. Periode kedua saat tanah gersang mulai gembur, ia menanam jenis pohon kayu berbatang lurus dan menjulang tinggi. Pohon perintis yang ditanam di periode pertama berhasil menahan air tanah dan membuat udara cukup sejuk, beberapa batang pohon cemara dan kelapa menjulang tinggi saat kami tiba. Periode ketiga, barulah mereka menanam pohon yang bernilai ekonomis.

Angin laut menjelang tengah hari terasa sejuk melewati rimbun pepohonan. Batang bambu dan dedaunan lain bergesekan, membuatku merasa sedang berada di Buleleng. Kalau bapak ingin menetap di sini, aku tidak menolak.

Daeng Geleng, kerabat dan orang kepercayaan pemilik tempat langsung mengajak kami berkeliling melihat sendiri lahan yang akan bapak kerjakan.

“Almarhum Karaeng mengamanatkan ke saya dan anak cucunya, lahan ini harus menjadi tempat wisata. Karaeng ingin orang-orang dari kampung kami yang keras makin kenal kelembutan lewat keindahan tempat ini nanti. Deru angin laut mengajar kami berbicara dengan suara keras, jadi lupa cara berbisik.”

“Sebagian pohon boleh ditebang?” Tanya bapak.

“Maaf Karaeng, jangan menebang pohon. Almarhum tidak ingin ada dzikir sengaja diputus sebelum tuntas sendiri, begitu pesan yang saya sendiri kurang paham,” jawab daeng Geleng.

Aku juga tidak mengerti perkataan daeng Geleng barusan. Pepohonan berdzikir? Tidak terdengar apa-apa, kecuali gesekan daun, aroma tanah gembur dan wangi akar pohon yang memberi rasa damai.

“Almarhum bukan orang biasa, beliau yang Karaeng, bukan saya. Panggil namaku saja, Adi, atau Pak Adi,” jawab Bapak.

“Bagaimana Karaeng? Pohon-pohon bisa tidak ada yang ditebang?” Tanya daeng Geleng lagi, belum ingin memenuhi permintaan bapak agar berhenti memanggil dengan sebutan untuk para raja dan keturunannya di wilayah zaman kerajaan Gowa dahulu.

“Mungkin lebih indah kalau taman wisata disesuaikan keadaan alam di sekitar, bukan sebaliknya,” kata bapak tidak protes lagi mengapa tetap dipanggil Karaeng. “Daeng Geleng tahu rumah yang disewakan selama beberapa tahun? Aku dan keluargaku menetap di sini selama lima tahun,” tanya bapak setelah kami berada di tepi pantai.

“Karaeng sudah disiapkan rumah dengan isinya di depan jalan masuk ke sini, tetangga ta sepasang suami istri yang bertugas melayani kebutuhan Karaeng selama bekerja. Mari Karaeng, kita ke sana sekarang.”

Sikap takzim daeng Geleng dan istrinya sejak kami tiba di Jeneponto kebahagiaan tersendiri buatku. Perasaan bahagia ini bukan karena senang ditinggikan dan suka orang merendahkan dirinya di depan kami. Selama berkeliling kami sibuk saling merendahkan diri, itu yang membuat hatiku terasa bahagia. Beda sekali sewaktu merendah dengan topeng budak belian melayani raja palsu semalam, semasa bekerja di tempat hiburan malam.

Kami disambut sepasang suami istri, rumahnya tepat berada di depan rumah panggung yang akan kami tempati. Pengantin baru belum punya anak, usia mereka dua puluhan tahun, sepantaran usiaku.

“Ini Daeng Tutu, tugasnya menemani dan membantu Karaeng Adi selama di sini, Daeng Tekne istrinya menemani Karaeng Ros mengurus rumah dan anak-anak,” kata daeng Geleng setiba di rumah mereka.

“Antamakki Kakdok Karaeng,” kata daeng Tekne persilakan kami masuk. Belum mengerti bahasa Makassar berlogat dan intonasi khas, “Kita diajak naik ke atas rumah, bertamu dan makan,” kata bapak berbisik melihatku bingung harus menjawab apa.

Di ruang tengah rumah panggung daeng Tutu, di atas tikar dari anyaman daun pandan sudah terhidang makanan lengkap. Kalau di rumah daeng Gassing di pulau Barrang Lompo piring makan kami dua buah piring ditumpuk jadi satu, di rumah daeng Tutu, piring makan bapak, piringku, dan piring daeng Geleng, bersusun lima. Cara orang Bugis-Makassar memuliakan tamu sungguh unik. Semakin banyak lapisan piring makan seseorang ketika dijamu, makin mulia kedudukannya di mata tuan rumah. Minuman selain air minum yang disuguhkan, kopi dan teh selalu kemanisan kebanyakan gula, begitu juga kue-kuenya. Kata Bapak, hidup boleh pahit, tuak boleh masam, untuk tamu yang manis-manis saja selama di rumahnya.

Sehabis makan, bapak, daeng Geleng dan daeng Tutu mulai membuat rancangan taman wisata di atas kertas besar. Anak-anak tertidur kekenyangan di pangkuanku

“Gerbang masuk pengunjung di sini, tidak jauh dari jalan poros, kita bikin semacam petunjuk jalan untuk pengunjung dari arah Bantaeng dan Makassar, di sini ada taman wisata dan pemandian,” kata bapak menjelaskan rancangan yang mulai ia gambar ke atas kertas. “Setelah membayar retribusi, langsung memarkir kendaraan, kemudian berjalan kaki sekitar 500 meter untuk sampai ke taman terbuka berbentuk lingkaran seperti bentuk daerah kosong tanpa pohon di sini.

Selama berjalan kaki, pengunjung kita suguhi warna Jeneponto sebenarnya, suara dan musik pasinrilik 1) dan pakkacapi 2) mengiringi langkah pengunjung, pedagang buah lobe-lobe 3), buah talak 4), kerajinan tangan, dan ballok manis 5) tertata rapi di sepanjang jalan setapak. Jangan jual ballok kacci 6), siapa yang mau mengurus pengunjung mabuk. Setiba di taman bundar, pengunjung sisa memilih akan melanjutkan ke beberapa pilihan lokasi yang kita gambar di atas peta besar dari batu, dibikin timbul seperti di candi-candi di Jawa. Mau ke kamar mandi umum sudah ada di dekat sana, mau naik kuda berkeliling seluruh area wisata kita sediakan, ada jalan setapak ke kolam renang untuk anak-anak dan ke kolam renang untuk orang dewasa dan remaja. Kolam pemandian bukan kolam renang modern. Kolam pangeran dan putri raja zaman dahulu, lengkap air mancur dan pancuran untuk membilas. Pohon-pohon besar di sekitar kolam tidak ada yang ditebang, akar-akarnya menjadi bagian dari dinding kolam, beberapa ranting besar kita ubah jadi tempat meloncat ke dalam kolam. Sumber air tawar dari mata air di bukit seberang jalan. Setiba di kolam mengalir ke kolam pengendapan dan penjernihan, sebelum kita pompa kembali masuk ke dalam kolam pemandian dari sana kembali lagi ke bak pengendapan dan penjernihan, air terbuang cuma sedikit. Dari taman bundar, pengunjung bisa terus berjalan kaki sampai ke tepi pantai. Di pantai selain ada rumah-rumah kecil dan balai-balai, kita siapkan pedagang ikan dan makanan lain untuk dipesan pengunjung yang bersantai dengan menyewa rumah-rumah kecil. Kita siapkan beberapa buah kapal katinting dan jollorok yang disewa menyusur pesisir pantai Kassi-kassi.

Bangunan inti kita selesaikan semua secepat mungkin, sementara hiasan dan pelengkap dikerja bertahap setiap tahun selesai satu atau dua, pengunjung tidak bosan karena melihat perubahan dan pertumbuhan. Tempat wisata ini sumber pemasukan tambahan warga kampung di sini.”

“Anu Karaeng, maaf. Di mana masjid atau mushala?” Tanya daeng Geleng.

Bapak tertegun sebelum menjawab, tersadar beberapa tahun belakangan ia tak pernah salat lagi, “Kita bangun dekat taman bundar. Tiangnya batang pohon besar di sekitar.”

“Kira-kira Karaeng butuh berapa untuk mulai membangun? Mau ke bank di kota Jeneponto besok pagi, sekalian mengurus semua perizinan.”

“Tujuh puluh juta rupiah cukup.”

Mataku terbelalak mendengar bapak menyebut uang sebanyak itu. Sekarang harga emas satu gram 70.000 rupiah, itu 1 kilogram emas. Banyak sekali.

“Almarhum Karaeng menitipkan seratus juta sama saya untuk dipakai sampai taman wisata jadi termasuk operasional tiga tahun, cukup ji itu Karaeng? Kalau kurang saya disuruh meminta ke cucunya.”

“Cukup, lebih dari cukup. Daeng Geleng punya kenalan mandor yang punya anak buah lengkap dari tukang kayu, tukang batu, tukang besi, tukang air, sampai tukang listrik? Kalau bisa orang kampung sini saja, supaya ikut membangun kampungnya sendiri.”

“Ada di samping ta Karaeng, Daeng Tutu ini kepala tukang, sama anak buahnya pernah ikut membangun pelabuhan di Makassar.”

“Nanti sore sehabis istirahat sedikit, Daeng Tutu bisa ke rumahku dengan tukang-tukangnya? Aku mau jelaskan tahapan pekerjaan, waktu dan anggaran yang disiapkan. Besok kita mulai kerja.”

“Bisa Karaeng, tukang-tukangku tinggal di sekitar sini.”

Kami kemudian pamit ke rumah yang disiapkan. Daeng Geleng memberi kunci rumah sebelum pamit.

“Untuk pertama kali dalam hidupku, aku yang merasa pantas dihinakan, di sini dimanusiakan, dimuliakan dan dirajakan. Kalau Bapak mau menetap di sini, aku mau,” gumamku di samping bapak yang bersiap tidur siang.

“Kalau ingin menjadi raja perlakukan rakyatmu sebagai ratu, bukan selir. Di sini semua tamu raja, semua tamu Karaeng. Padahal merekalah raja sesungguhnya.” kata suamiku menjelaskan adat dan kebiasaan di kabupaten yang menjadi rumah kami selama lima tahun.

“Apa nama taman wisatanya nanti?”

“Pakai nama kampung ini saja, Kassi-Kassi, artinya berpasir atau pasir-pasir. Kenangan semasa ikut berjuang bersama LAPRIS di Perguruan Nasional, namanya sama dengan nama kampung di Rappocini Makassar.

Tahun 1947 LAPRIS perang di Kassi-kassi, grup Harimau Indonesia memilih menyelinap ke kota. Bote, nama panggilan Robert Wolter Mongisidi, merampas jip tentara belanda, lalu nekad menerobos markas Belanda menembak membabi buta dengan senapan mesin rampasan, menghamburkan peluru lalu melarikan diri. Akibatnya, terjadi penyerbuan balasan ke Tidung. Emmy Saelan gugur di sana. Sejarah mencatat, hari itu terjadi pertempuran hebat. Pasukan khusus Belanda merangsek ke markas-markas laskar pemuda, sampai ke Tidung di mana 85 anggota grup Harimau Indonesia dipimpin Bote sudah menunggu.

Serangan tentara Belanda yang terencana membuat pasukan Wolter terdesak. Banyak laskar terluka, lebih banyak lagi yang tewas. Wolter meminta Emmy dan tim kesehatan memisahkan diri. “Kau mundur ke Kassi-Kassi, bawa serta yang luka-luka,” katanya. Emmy ditemani anggota laskar, Abdullah Hadade, berangkatlah Emmy ke Kassi-Kassi. Dalam perjalanan ke Kassi-kassi mereka bertemu pasukan Belanda, mereka terdesak. Belanda mencoba membujuk Emmy agar menyerahkan diri.

Emmy menolak. Pasukan Belanda terus merangsek. Ketika didekati tentara Belanda terdengar letusan keras. Duar! Emmy meledakkan granat digenggamannya.

Bote akhirnya tertangkap setelah beberapa kali berhasil melarikan diri, divonis hukuman mati depan regu tembak, ia sempat mengucapkan pesan terakhir yang indah, “Dengan bantuan Tuhan, aku menjalani hukuman mati ini. Aku tidak mempunyai rasa dendam kepada siapa pun, juga tidak kepada mereka yang menjatuhkan hukuman mati ini. Tetapi aku yakin, segala pengorbanan, air mata dan darah para pemuda kita akan menjadi pedoman yang kuat untuk tanah air Indonesia yang kita cintai ini.”

Cerita yang beredar, walau diberondong peluru Bote tetap hidup, ia terpaksa ditenggelamkan ke laut, tubuhnya diikat ke besi pemberat. Tidak bisa mencari tahu mana cerita yang benar, orang tiarap menghadapi situasi Makassar yang mencekam, bukan hanya laskar, keluarganya juga dihabisi kekejaman tentara Gestapo bentukan Westerling, kalau ketahuan punya hubungan dengan laskar,” tutur bapak sambil memejamkan mata membayangkan dirinya kembali ke tahun 1947.

“Sekarang kita sudah merdeka, Bapak boleh istirahat siang,” kataku menutup ceritanya sebelum menggali kenangan lebih dalam dan batal beristirahat.

“Kamu sudah salat?” Tanya bapak lagi, ia belum terlelap.

“Sehabis ini mau menjamak duhur dan asar. Biasanya tidak bertanya sudah salat atau belum.”

“Kapan-kapan ajari cara salat, malu harus diingatkan bangun masjid sama Daeng Geleng.”

“Dulu Bapak salat di masjid sebelum bertemu di pemondokan Pak Imam.”

“Itu salat orang munafik, supaya Pak Imam mengizinkan bertemu kamu.”

“Kalau menunggu ikhlas, menunggu tidak munafik, menunggu beres baru salat, Bapak tidak akan pernah salat. Aku mau salat karena membuat pikiran, hati dan jiwaku tenang. Setiap tergoda berpikir atau berbuat keburukan, malu sama salatku. Terbantu perbaiki diri dari hari ke hari dengan salat.”

“Di hatiku ada masjid besar Ros, lantainya berdebu tidak pernah kubersihkan dan kupakai. Kupikir hidup sebagai muslim cukup tidak berbuat keburukan pada diri sendiri dan orang lain, cukup berbuat baik ke sesama. Tetapi saat daeng Geleng mengingatkan jangan lupa membangun masjid, tidak mampu membantah dengan yang kuyakini setiap tempat adalah masjid, setiap perbuatanku salat, setiap hati juga masjid. Ada yang salah dengan caraku berislam. Kamu jangan seperti aku.”

“Memang tidak mau. Kata istri Pak Imam, suami yang masuk surga tidak bisa menarik anak istrinya ke dalam surga, karena tugas itu harus ia laksanakan semasa hidup di dunia sebagai suami, sedangkan seorang istri yang masuk surga diberi fasilitas menarik anak dan suami masuk ke surga.”

“Alhamdulillah, mau tidur sekarang, jangan lupa doakan aku dan anak-anak kita setiap habis salat.”

“Selalu Pak,” jawabku menoleh, melihatnya mulai tertidur pulas.

Aku dan suamiku sudah terbentuk, tahu siapa diri kami. Dirajakan orang tidak membuat kami meraja, tetapi anak-anak kami baru akan terbentuk. Pikiran dan jiwa di usia mereka, cermin yang memantulkan dan menyimpan semua yang tersaji di depannya. Kami lupa mengingatkan, yang raja itu orang kampung sini, bukan kita.

🌹 Dukung kami menuntaskan kisah hidup Ros Magdalena via trakteer atau buy me a coffee.

Baca Juga.

Hati 2

Bab #6.2. Upacara Kecil 17an

Tentara tidak pernah pensiun, gelar purnawirawan hanya menandakan tuntasnya pengabdian seorang tentara di dalam rantai komando organisasi ketentaraan. Suamiku bukan

Img 20191202 184105 509 Animation

BAB #4 Sehidoep Semati

Adi mengajak ikut ke Makassar menemui orang tuanya, lalu menikah di sana. Memang aku duluan yang meminta ikut bersamanya ke

Fave 5ab

BAB #6.1. Harmoni

“Tidak boleh asal bikin?” Tanyaku lugu. “Boleh, kalau mau asal jadi. Sebelum melukis cari kanvas terbaik sesuai ukuran, warna-warni cat

Inferior

BAB #7 Surat Panjang Sahabat

Anak-anak kecil di Makassar sebelum berkelahi, biasanya debat kusir dulu. Satu kalimat kunci menangkan perdebatan, sesiapa lebih dahulu menyebut pasti