Fave 5ab
Ubud, 2012

BAB #6.1. Harmoni

“Tidak boleh asal bikin?” Tanyaku lugu.

“Boleh, kalau mau asal jadi. Sebelum melukis cari kanvas terbaik sesuai ukuran, warna-warni cat dan minyak yang cocok, mencari waktu tepat, mengatur suasana hati dan pikiran sampai membayangkan bentuk jadinya. Mau punya anak persiapannya tidak lebih serius dari melukis? Tidak lebih sungguh-sungguh dari memasak lauk makan siang?” Jawabnya panjang lebar. Padahal aku cuma mengingatkan sekarang sampai tiga hari ke depan puncak kesuburanku, siapa tahu nanti malam ia kepingin bikin anak.

“Pakai jaket, kita main ke luar kota.” Tambahnya melihatku tidak tertarik penjelasannya. “Kamu harus ikut berkunjung ke kebun jagung,” katanya lagi sambil mengeluarkan skuter yang ia beli dari hasil menjual lukisan.

“Makan jagung sampai ke luar kota?” Tanyaku dari boncengan beberapa saat setelah kami meninggalkan rumah.

Kota Makassar di tahun enam puluhan tidak padat dan sesak, rumah-rumah belum berbagi dinding dan halamannya luas-luas, masih banyak rumah panggung dari kayu yang berdiri di tengah kota. Kami berboncengan baru lima menit, sudah pemandangan indah alam pedesaan, sawah ladang di sisi kiri dan kanan jalan, melewati beberapa sungai dan jembatan.

“Kita ke sana belajar bagaimana jagung dikawinkan untuk dapat bibit unggul,” teriaknya melawan deru angin pegunungan.

“Kenapa tidak ke dokter ahli kandungan? Atau ke ibu bidan di samping rumah?” Tanyaku heran.

“Belum punya ongkos, toh manusia seperti tumbuhan dan hewan saat kawin. Tumbuhan malah banyak yang lebih estetik, tanpa penetrasi, pembuahan dibantu lebah, kumbang dan kupu-kupu.” Jawabnya lagi.

“Aku tidak mengerti!” Jawabku sambil berteriak melawan suara kenalpot dan angin. Kuputuskan berhenti bertanya, menikmati pemandangan di kiri kanan jalan dan udara sejuk, mengobati kerinduanku pada suasana pedesaan di Bali.

Setelah sekitar setengah jam mesin skuternya meraung-raung, bapak mengurangi kecepatan bersiap belok kanan masuk ke jalan kecil di antara persawahan, dari jauh terlihat cuma ada satu rumah kecil yang berhalaman sangat luas.

Kami memasuki halaman rumah yang di kelilingi berbagai jenis pepohonan dan tanaman. Bapak memarkir skuternya di halaman depan, lalu berjalan ke halaman belakang.

“Kawanku tinggal di sini. Dulu kami satu sekolah di SMP Nasional, sama-sama ikut laskar pelajar, sekarang ahli pemuliaan tanaman padi dan jagung,” kata suamiku sambil berjalan ke belakang.

Rumah yang terlihat kecil dari jauh, ternyata besar. Halaman belakangnya lebih luas lagi, terbagi dua, sebelah kiri ditanami jagung dan di sebelah kanan padi.

Seorang bapak sepantaran usia suamiku sedang memetik beberapa buah jagung, ia menoleh mendengar suamiku memberi salam.

“Adi! Akhirnya datang juga, perbukitan di Bili-bili sudah lama menunggu ingin dilukis.” Sapa kawannya menjawab salam Adi suamiku.

“Kenalkan Ros istriku, kami datang ke sini ingin melihat jagung kawin.”

“Mau berkebun juga?” Tanyanya menghampiri kami, lalu mengajak duduk di pendopo kecil dekat rumahnya. “Istriku dan anak-anak sedang di Makassar, tunggu sebentar kubuatkan kopi dan teh,” katanya setelah kami duduk. Kebiasaan di Makassar agak beda dengan di Bali, tanpa menanyakan ingin minum apa, sudah diputuskan kopi minuman untuk laki-laki, teh untuk perempuan.

“Silakan,” katanya setelah mengantar minuman dan sekaleng rengginang. “Kalian tidak buru-buru kan? Jagung rebusku sedikit lagi matang.”

“Aku mau berkebun juga, tetapi di ladang pribadi milik istriku. Bagaimana menumbuhkan buah jagung sebesar ini?” Kata suamiku sambil memegang buah jagung yang kawannya petik tadi, ukurannya memang lebih besar dari jagung di pasar.

“Sederhana. Bibit jagung yang memiliki keunggulan Z dikawinkan dengan bibit jagung yang punya keunggulan Y, diharapkan menghasilkan bibit dengan keunggulan ZY.” Papar kawannya.

“Diharapkan ZY? Tidak bisa dipastikan ZY?” Tanya bapak.

“Saat ini belum bisa memodifikasi kromosom sesuai keinginan. Selain sifat dominan yang teramati, ada sifat tersembunyi tidak tampak. Seperti kromosom (X,X) pada wanita, dan kromosom (X,Y) di pria. Kalau berharap anak lelaki, kita berharap kromosom X dari wanita bertemu kromosom Y dari pria berkembang jadi embrio. Rekayasa yang bisa dilakukan sekarang untuk harapkan anak lelaki dengan memastikan lingkungan yang mendukung kromosom Y lebih dominan dari kromosom X, dan lewat pengaturan tanggal kesuburan.” Papar kawannya.

Rupanya peluang mendapatkan anak laki-laki atau anak perempuan sama besar, ia mengajakku ikut jauh-jauh ke sini karena ingin selesaikan pembicaraan kami di rumah.

“Bagaimana dengan sifat-sifat non-fisikal anak? Karakter, kecerdasan, emosi, kesenian, bahasa dan lain-lain, bisakah diprogram sejak janin?” Tanya suamiku lagi.

“Penelitian di tingkat janin belum ada. Kalau di usia bayi, balita, dan kanak-kanak sudah banyak. Kondisi eksternal lingkungan atau kondisi rumah berperan besar menentukan sifat dan karakter non-fisikal seorang anak manusia.”

“Kalau aku dan istriku ingin memiliki anak dengan gabungan sifat-sifat fisik dan non-fisikal yang baik dari kami, bagaimana caranya?” Tanya suamiku lagi. Ia benar-benar ingin belajar bagaimana supaya mendapat keturunan yang baik.

“Mulai sekarang buatlah sifat-sifat baik kalian lebih dominan dari sifat-sifat buruk. Siapkan wadah dan lingkungan yang memungkinkan sifat-sifat baik mendominasi pertumbuhannya. Tetapi, tidak ada jaminan sifat-sifat buruk tidak bangkit mendominasi ketika bertemu lingkungan yang cocok. Begitu pun sebaliknya, anak yang tumbuh di lingkungan buruk, belum tentu terus buruk, bisa sekali saat bertemu lingkungan yang mendukung sifat-sifat baik berbalik dominan. Semua manusia lahir dalam keadaan bersih, ibu bapak dan atau lingkungannya yang menulisi mereka dengan sesuatu. Usia 0 sampai 14 tahun usia paling menentukan, apakah kita sedang membesarkan anak yang kelak bermanfaat untuk dirinya, lingkungan dan orang lain, atau sedang menabung fitnah. Ada datanya, 95% pelaku kejahatan, kekerasan seksual dan non-seksual, verbal dan non-verbal, pernah mengalami atau terbiasa dengan kekerasan dalam rumah atau lingkungannya di rentang usia tersebut. Punya anak tanggung jawab besar, sebesar bagaimana bentuk masa depan umat manusia yang akan datang.”

Aku mengangguk setuju pendapatnya. Kata Nyai Ketut, kakek nenek buyutku mesti ada yang penari, karena mengajariku menari seperti membangunkan bakat yang tertidur. Kalau bukan dilatih Nyai, aku tidak tahu bisa menari dengan baik.

Ibu bapakku ternyata tidak sepenuhnya tidak bertanggung jawab, karena aku tidak digugurkan saat masih janin, tidak dibuang ke sungai, ke sawah, dijual atau dikubur hidup-hidup. Mereka belum memikirkan konsekuensi setiap perkawinan yang berujung kehamilan. Kalau memang cuma kepingin kawin, cuma ingin melepas nafsu seharusnya diatur supaya tidak sampai hamil, yang sekarang kuakui sulit mengingat ada tanggung jawab besar yang menanti saat sudah berdua suamiku dalam kamar.

“Masih mau punya anak banyak?” Tanyaku menggoda suamiku. Suamiku tidak menjawab.

“Bagaimana kalau pemahamanku seperti ini, aku ingin embrio terbaik yang kelak menjadi janin dalam rahim istriku, karena itu kuprogram sejak sekarang atau 3 bulan sebelum hamil.” Kata suamiku.

“Program apa?”

“Makanan bergizi, minuman sehat, kondisi psikologis positif, perbuatan yang baik-baik, sampai berpuasa teratur, dan lain-lain.”

“Saya ahli pemuliaan tanaman jagung dan padi, tidak paham cara memprogram janin, pengetahuanku sebatas yang pernah kubaca saja. Ada teori epigenitika terbukti memungkinkan mengubah, memprogram, merusak atau memperbaiki gen di tingkat kromosom makhluk hidup. Diet termasuk sesuatu yang bisa memicu terjadi epigenetika, proses dimana gen yang tidak diinginkan tertimpa gen yang diinginkan. Diet biologis bisa berupa asupan makanan dan minuman sehat bergizi, diet psikologis berupa perbaikan perilaku, ucapan, pikiran, termasuk dengan berpuasa. Fisik atau cangkang yang sempurna secara biologis, tidak lebih penting dari jiwa baik yang diharapkan akan mengisi. Ilmu pengetahuan belum bisa menjelaskan bagaimana jiwa dan ruh memilih atau dipilihkan jasad untuk lahir ke dunia. Banyak terjadi, fisik tidak sempurna berhati malaikat dan sebaliknya sehat jasmani dan rohani tetapi kelakuan naudzubillah. Untuk seorang seniman yang bebas berkarya sesuka hati, ketakutanmu berlebihan. Kau punya trauma tertentu?”

“Tidak ada trauma, cuma ingin sifat-sifat baik dominan karena kenal sifat-sifat buruk kami. Ingin anak-anakku kelak memiliki fisik sempurna dan sehat, wadah bagi jiwa yang juga sehat, dengan dua modal itu mereka aku lepas bebas mengarungi kehidupan, dibentuk dan membentuk dirinya sendiri.”

“Lepas liar maksudmu? Saya tidak setuju, tanaman saja dimuliakan. Kecerdasan kognitif yang tertanam dalam gen manusia berkembang bertahap sesuai usia jika bertemu ekosistem pendukung, cukup kalau hanya sekadar tumbuh dan bertahan hidup. Hewan pun begitu ketika membesarkan dan mendidik anak-anaknya, kita ini manusia!”

Aku juga tidak setuju. Aku memang sengaja dititipkan di depan pintu panti asuhan tengah malam, bukan ditaruh di jalanan tetapi ke tangan yang bisa mengasuh dan membesarkan.

Sebagian besar saudaraku satu panti asuhan, dititipkan setelah kedua orang tuanya meninggal dunia. Kami memang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari Mbok Gek dan Bli Made pengasuh kami. Namun, tetap ada yang hilang. Ikatan kami dengan Mbok Gek dan Bli Made tanpa hubungan darah, tanpa pintu rasa yang selalu terbuka antara orang tua dan anak. Kalau bukan karena ketulusan mereka, aku tidak akan pernah mengenal cinta dan kasih sayang, meskipun di bawah sadar, jiwa dan tubuhku masih selalu ingin berkumpul dengan orang tua kandung, yang melalui mereka aku terlahir.

“Bermodalkan tubuh dan jiwa sehat saja tidak cukup?” Tanya suamiku lagi.

“Jauh dari kata cukup, jiwa raga manusia dinamis, tumbuh dan susut. Apa kita seperti sekarang kalau dulu dilepas liarkan? Manusia super atau penjahat super bukan hanya soal gabungan bibit yang baik, kawan kita Bote tidak jadi pahlawan kalau tidak melihat peluang dan memiliki keberanian merampas jip tentara Belanda dan banyak lagi rentetan kejadian yang berujung keputusan nekad. Di luar sifat-sifat genetis tampak dan tersembunyi, banyak faktor tidak terduga di kehidupan nyata, termasuk takdir. Bibit jagung hasil kawin silang ini, memiliki buah yang lebih besar dan lebih banyak, tahan hama minim perawatan, dua bulan panen. Hebat bukan? Namun, sifat-sifat unggulnya tidak berharga kalau permintaan jagung lebih sedikit sementara persediaan berlebihan. Atau yang sedang disukai pasar jenis jagung organik, bukan jagung unggul hasil perkawinan silang. Apa kau menganggap anakmu nanti komoditi atau aset?”

“Walaupun suatu saat kapitalisme dan sosialisme bertemu lalu kawin di sungai Rhein, anak-anakku tetap anak manusia, bukan anak ideologi, bukan anak teori dan konsep sistem sosial politik. Aku dengan istriku datang ke sini ingin mendapat gambaran, apakah sifat-sifat buruk kami saat diturunkan tidak mendominasi. Kalaupun kami berhasil membuat sifat-sifat unggul lebih dominan, setelah dewasa mungkin saja itu menjadi beban dan sumber masalah karena mereka hidup di zaman berbeda.”

“Saranku, lewati semua tahapan kritis dengan baik, pra kehamilan, kehamilan, pasca kehamilan, dan usia krusial anak-anak dari 0 sampai 14 tahun. Selebihnya, andai tetap ingin melepas liarkan anak-anakmu, sejauh mana pun bertualang mereka tahu jalan pulang. Seliar apa pun mereka di luar sana, lebih banyak manfaat dari pada keburukan yang mereka tinggalkan.”

“Terima kasih, aku dan istriku jadi tahu bagaimana persiapkan kehamilan.” Kata suamiku.

“Kami benar-benar berterima kasih,” tambahku. Kekhawatiran punya anak dariku yang tidak pernah merasakan kasih sayang dan didikan orang tua kandung, terjawab lewat obrolan suamiku dengan kawannya.

“Jangan pulang dulu, jagung rebusku sudah masak.”

Jagung rebus hasil pembibitannya besar, lebih empuk, tidak berlendir dan bergetah, terasa manis.

“Bagaimana rasanya? Enak? Jagung ini cuma aku rebus biasa dengan air tawar tanpa bumbu apa-apa.”

“Enak dan manis.” Jawabku.

“Kau hebat, berhasil mengawinkan sifat-sifat unggul.” Sahut bapak.

“Kerjaku cuma sedikit. Tanah, air, hewan, serangga, udara, air, cuaca, kicauan burung di sini, sampai suasana hatiku saat mengawinkan silang induknya, ikut menyumbang rasa ke jagung yang sedang kita makan.”

“Manusia juga begitu?” Tanyaku.

“Lebih banyak lagi faktor pada manusia.” Jawab kawan bapak. “Tetapi sebanyak apa pun faktor dan kekhawatiran sebelum putuskan punya anak, kalau padaku dan istri teratasi dengan cinta dan tanggung jawab mulia yang hanya dimiliki manusia, melahirkan dan menyiapkan manusia berikutnya, melanjutkan kemanusiaan. Aku pun cemas dan takut sebelum punya anak pertama. Setelah lahir, naluri sebagai ibu pada istriku dan naluri sebagai bapak dalam diriku, secara alami membimbing kami bagaimana membesarkan dan mendidik anak manusia yang akan hidup di zaman yang berbeda dengan kita.” Tambahnya.

“Beratnya, naluri alamiah hanya bisa keluar dan mengalir sempurna saat tidak terhalang oleh harapan dan keinginan orang tuanya sendiri. Aku khawatir nanti terlalu sibuk berusaha membahagiakan anak-anakku, sampai lupa usaha bahagia awal hilangnya kebahagiaan, terlalu sibuk membuktikan cinta kami pada anak-anak sampai lupa mencintai mereka.” Kata suamiku menanggapi.

“Benar sekali. Tetapi, jangan khawatir selama masih punya hati nurani, akan selalu ada yang mengingatkan konsekuensi setiap keputusan dan tindakan yang kita ambil. Kita bisa memilih buta dan tuli dari nurani, tetapi tidak bisa lari dari konsekuensi.”

“Aku siap jadi calon ibu.” Kataku sambil menatap suamiku.

“Aku siap belajar lagi menjadi bapak dan suami,” jawab Adi suamiku. “Terima kasih, untuk obrolan yang menambah pengetahuan kami sebelum punya anak. Kekhawatiran kami hilang lebih dari setengah. Kami pamit pulang ke Makassar.” Kata suamiku lagi, berpamitan pada kawan sekolahnya dulu.

Kawannya memberi bingkisan sekarung jagung untuk kami bawa pulang ke Makassar.

***

“Seperti kata kawan Bapak, punya anak tanggung jawab besar, bukan sekadar meneruskan keturunan, nasab, dan menjaga keberadaan manusia, apalagi cuma karena kebutuhan nafsu. Tanggung jawabnya sebesar bagaimana bentuk masa depan umat manusia dan kemanusiaan yang akan kita wariskan nanti.

Sebelas anak kami hasil persiapan jauh hari sebelum hamil. Tiga bulan sebelum kehamilan, kami mulai menyaring semua yang masuk dan yang keluar. Hanya makan dan minum yang baik-baik dibeli dari hasil kerja yang baik, berusaha tidak mengeluarkan kata sia-sia dan perbuatan buruk. Anak yang ketiga meninggal dunia umur 5 tahun setelah kakinya tetanus tertusuk paku. Semua kami persiapkan dengan baik, sebelum hamil, semasa hamil, setelah lahir dan sampai usia 14 tahun, kami berusaha keras tidak bertengkar di depan mereka.

Namun, uang yang berlimpah saat mereka kanak-kanak, sikap takzim yang disalahartikan, berhasil membangunkan sifat-sifat buruk turunan yang tadinya tidur dalam diri mereka. Walau terlambat menyadari, mereka sudah punya bagian diri yang melawan kecenderungan sifat buruk yang ingin mendominasi, yang rasanya selalu kalah.

Nanti kalau mau menikah dan punya anak, selengkap apa pun kalkulasi yang kau lakukan, akan selalu ada penyesalan atas keputusanmu sendiri. Abaikan, jalani saja terus sampai bisa sabar kemudian bersyukur, karena sesal selalu sepasang dengan syukur.” Kataku kepada Boja.

“Kalau belum bisa sabar, jangan bodoh luapkan penyesalan pada pasanganmu. Kami punya penyesalan masing-masing, dikeluarkan bersamaan, mestinya saat satu bicara, yang satu diam mendengarkan. Akibatnya, sekarang tidak punya buku nikah, mau bercerai pun tidak ada dasar hukumnya.”

“Bapak nikah secara syariat?” Tanya Boja menanggapi pengakuan kami sudah tidak punya buku nikah.

“Secara syariat di Kantor Urusan Agama, ada buku nikahnya.” Jawab suamiku.

“Buku nikah kubakar sehabis bertengkar,” kataku singkat. “Aku pamit ke dapur, mau masak untuk makan siang, kamu makan siang di sini ya,” Tambahku, enggan menceritakan kembali kejadian yang tidak ingin aku kenang.

“Iya Tante Ros, terima kasih.” Jawab Boja mengerti.

“Kau pernah mengalami apa yang kami alami? Dirajakan orang?” Tanya Bapak sepeninggalku.

“Dari masuk SD sampai kelas I SMP, ibuku punya tiga orang asisten rumah tangga, tugasnya membantu mengurus keperluan sekolah kami berdelapan, sekarang sisa tujuh. Aturan dari ayahku, mereka bukan pesuruh, tetapi anggota keluarga yang makan di meja makan yang sama, pakai piring dan gelas yang sama.” Jawab Boja.

“Ayahmu mendidik anak-anaknya sekaligus asisten rumah tangga, untuk memutus tiga jenis mentalitas yang dibentuk kolonialisme. Pertama, jangan bermental budak yang patuh karena ketakutan dan merasa pantas diperbudak. Kedua, jangan bermental jongos, baru mau mengerjakan sesuatu kalau ada imbalan, upah atau bayaran. Ketiga, jangan bermental priyayi lalim, tunjuk sana tunjuk sini, perintah kiri kanan, semua keinginan harus terpenuhi. Setelah kita merdeka tiga mentalitet tadi harusnya hilang, tetapi anehnya malah awet melewati setengah abad.”

“Sindrom stockholm. Korban penculikan merasa lebih aman bersama penculiknya dan menolak dibebaskan. Menemukan zona aman dan nyaman hidup sebagai budak, kacung, jongos dan priyayi lalim.” Kata Boja menanggapi Bapak.

“Ketiganya berevolusi dan beradaptasi ke arah yang salah. Budak berevolusi berdayakan diri agar menjadi jongos, dulu patuh karena takut hukuman, takut cambuk majikan, sekarang karena upah yang sesuai walau pekerjaan buruk dan jahat. Setelah berhasil berevolusi menjadi jongos, kita mulai berdaptasi dengan lingkungan dan karakter priyayi lalim pengupah jongos, sebelum menjadi priyayi lalim juga. Setelah priyayi dan dikultuskan, mulai ingin melawan hukum alam jika ada awal maka ada akhir. Menurutmu, lingkaran setan ini bisa diputus?”

“Kalau berpikir langsung ke bagaimana memutus lingkaran setan budak-jongos-priyayi Bapak sedang menggunakan pola pikir priyayi lalim.”

“Kok begitu?” Tanya suamiku pada Boja.

“Karena berorientasi hasil bukan proses, pokoknya harus diputus. Memaksakan hasil harus sesuai keinginan. Kalaupun berhasil, mungkin hanya memutus satu rantai, tanpa mengenali semua rantai masalahnya.”

“Pemerintah kolonial membagi kelas warga negara menjadi tiga. Kelas I, warga kolonial. Kelas II, warga pendatang Arab dan Tiongkok. Warga negara kelas III, orang pribumi asli. Sejak proklamasi kemerdekaaan sekitar tiga kali kerusuhan rasial terjadi di Makassar, sasarannya warga keturunan Tiongkok, istriku yang punya darah Tiongkok ketakutan setengah mati. Sedikit saja pemicu, dihembuskan menjadi isu ketidaksetaraan antara warga keturunan pendatang dan penduduk asli, trauma sejarah warga negara kelas III yang mengemuka, terpancing melakukan aksi massa ‘penyetaraan paksa’. Padahal keturunan Tiongkok unggul secara ekonomi, memang karena tekun bekerja, mau berusaha dan saling membantu, tahu siapa yang bisa dibeli aturannya dan berapa harga yang pantas. Galeri yang menawar lukisanku dengan harga tertinggi hampir selalu milik keturunan Tiongkok. Syukurnya, proses mengobati trauma sejarah direndahkan sebagai warga negara kelas III perlahan hilang, makin banyak saudagar pribumi bekerja sama dengan saudagar keturunan Tiongkok, terlebih setelah Presiden Gus Dur memberikan payung hukum.

Kalau dengan keturunan Arab lain lagi, karena agama Islam dibawa oleh Nabi Muhammad salallahualaihiwassalam yang keturunan Arab, muslim yang bermental budak dan jongos, memandang semua keturunan Arab priyayi alim. Padahal selama masih manusia, yang lalim juga ada. Belum kutemukan ajaran agama yang mengajarkan kesetaraan di mata hukum syariat seegaliter ajaran Islam yang tidak mengenal pengkultusan. Orang tua, perempuan, anak-anak, hewan, tumbuhan, alam dan lingkungan hidup semua dimuliakan. Kalau Fatimah binti Muhammad mencuri, maka Nabi sendiri yang akan memotong tangannya. Tetap saja banyak yang memandang dan merendahkan dirinya sebagai kelas III. Mesti ada sebab selain sindrom stockholm, mungkin karena mental short-cut, mental jalan pintas yang ujungnya jadi mental menerabas. Berorientasi hasil, bukan proses. Suka mencari jalan paling mudah, cepat, murah, enteng tidak peduli melanggar aturan.

Mental budak-jongos-priyayi turunan mental inlander, sifat minder rendah diri sudah bagian internal dari sebuah kelompok, suku bangsa dan bangsa yang pernah dijajah. Meyakini pembagian kelas warga negara memang sesuai, pantas menjadi warga kelas III yang tidak akan seunggul warga kelas II dan kelas I. Proses kita memuliakan diri dari budak ke jongos sampai ke priyayi hanya mengambil kemasan dan pengakuan dari tiap-tiap tingkatan. Budak yang berhasil menjadi priyayi tetap bermental budak, cuma ganti majikan, dulu takut cambukan sekarang takut pada priyayi di atasnya. Jongos yang jadi priyayi, dulu harap imbalan sebelum lakukan sesuatu, saat jadi priyayi tetap bermental jongos, apa saja dikerjakan asal ada upah dan imbalannya.

Dulu saya malas puasa Ramadan, nongkrong dari pagi sampai sore di warung kopi di jalan Ujung sama teman-teman, pulang ke rumah nanti menjelang berbuka. Kawanku seorang Arab keturunan Sayyid juga suka duduk bersama kami. Suatu kali saat tersisa kami berdua, aku bertanya lugas mengapa tidak puasa? Kalau kau? Ia bertanya balik dan kujawab jujur, karena belum termasuk orang beriman yang diwajibkan berpuasa. Jawabnya, karena tahun lalu sudah berpuasa Syawal, punya tabungan puasa setahun masih cukup untuk 11 Ramadan lagi tanpa berpuasa. Ini termasuk mental jalan pintas yang menerabas aturan?”

Aku yang mendengar penjelasan panjang suamiku dari dapur, jadi bertanya-tanya sendiri. Dari mana datangnya dorongan selalu mencari kemudahan? Memangnya ada manusia yang mau menolak jalan singkat dan mudah? Kalau ada yang jual dan ada uang, bayar selesai. Bagaimana kalau tidak ada yang menjual? Meski punya uang aku tetap tidak bisa membeli takdir kehadiran orang tua kandungku, beberapa kesukaran memang bukan untuk dihindari. Ada yang untuk dilupakan, dan ada yang harus dilalui. Hidup mungkin bukan hanya tentang mendapat apa, lebih banyak tentang menjadi apa setelah melalui sesuatu, jadi lebih buruk atau baik. Sepuluh tahun teratur tunaikan salat lima waktu, imbalan kepatuhan berupa surga tidak lagi menjadi sumber harapanku, bersyukur tergerak melakukan salat rasanya sudah seperti mencicipi surga.

“Mirip, tetapi kawan Bapak tidak menjongoskan diri ke orang lain yang ia anggap kelasnya lebih tinggi agar mendapat kemudahan, jalan pintas, dan menerabas aturan agama. Ia menyerah pada kalkulasi akal pikirannya sendiri. Mental jalan pintas yang kita miliki sebagai muslim, terutama karena menganggap agama Islam masih butuh perantara saat memiliki hajat atau ingin berkomunikasi dengan Tuhan. Sebagai awam, kita dan masyarakat butuh taklim ilmu-ilmu agama dari para alim-ulama, tetapi saat bermunajat kita semua pengemis di depan-Nya, seorang ulama yang cirinya memiliki ketakutan paling besar terhadap Allah, paling mengiba-iba ketika bermunajat karena membawa hajat orang banyak bukan hajatnya sendiri. Tetapi orang-orang lebih suka meminta pertolongan kepada yang diyakininya tangan kanan Allah ketimbang langsung ke Allah, lebih mau ke surga, ketimbang duduk bersama pemilik dan pembuatnya. Apa lagi karomah tangan kanan Tuhan kerap berupa jalan pintas, alhasil mental jalan pintas makin menjadi-jadi, mental jongos warga kelas III makin awet. Menurut agama Islam seperti kata Bapak tadi, semua manusia sama tanpa memandang ras, suku, garis keturunan dan lain-lain. Hanya yang beriman dan berilmu yang dijanjikan Allah dilebihkan derajatnya sedikit dari manusia lain di sisi-Nya bukan dari sisi manusia, memakai kata sambung ‘dan’ bukan ‘atau’, artinya iman dan ilmu sepaket. Ketika ilmu dan iman berada pada satu pribadi, mustahil melahirkan priyayi lalim atau bahkan priyayi baik, malah jadi manusia biasa. Empat sahabat Nabi Muhammad salallahualaihiwassalam contoh muslim yang beriman dan berilmu. Saat memegang kekuasaan sebagai khalifah, tetap manusia biasa, tetap hamba Allah. Seorang Yahudi bisa merasa aman membangun pondoknya yang buruk menyatu dengan kemegahan dinding luar istana Gubernur Mesir di zaman kepemimpinan Umar bin Khattab, mustahil terjadi kalau khalifah Umar bermental priyayi.” Jawab Boja.

“Aku masih belajar agar kembali Islam, bukan sekadar islam warisan ibu-bapakku yang muslim, dan mulai mengenal Nabi Muhammad salallahualaihiwassalam, aku tertunduk karena dua hal darinya, menolak pengkultusan semasa hidup dan setelah wafat, dan masih meminta pada umatnya agar didoakan lewat shalawat.”

Sepengetahuanku Boja dulu bersekolah di SMA Islam, cukup tahu ilmu agama. Beberapa tahun terakhir suamiku berusaha lebih mengenal agama Islam, selama ini dianggap agama warisan orang tua tanpa pernah berusaha ia kenali. Dulu merasa cukup dengan berbuat baik dan tidak berbuat kerusakan, kini mulai merasa butuh salat dan puasa. Kalau zakat dan sedekah, suamiku tidak sanggup menolak saat mampu menolong. Sering, sebelum orang meminta ia sudah memberi.

Aku yang terbiasa berperilaku sebagai sudra semasa hidup di Bali, kesulitan memandang semua manusia sama kedudukannya di mata Tuhan setiba di Makassar. Perbedaan kelas sosial di lingkungan rumah suamiku tidak lagi ditetapkan secara adat, tetapi kepentingan dan kebutuhan. Semakin banyak keperluan dan kebutuhan kita kepada orang lain, yang butuh semakin merendah kalau perlu menjilat. Semakin banyak ketergantungan orang, cenderung semakin semena-mena kepada yang membutuhkan.

Perbedaan kasta yang aku kenal bukan perbedaan kadar kemanusiaan, bukan pembagian kelas manusia, tetapi perbedaan fungsi dan tanggung jawab di masyarakat. Kasta sudra sepertiku tentu menaruh hormat pada kaum brahmana karena menyadari besarnya tanggung jawab yang mereka pikul, tetapi penghormatan kami tidak lantas membuat para brahmana semena-mena. Mana mungkin seseorang bisa meraih kasta brahmana sebelum memandang dirinya lebih rendah dari tanah yang menampung seluruh makhluk hidup.

“50 tahun lebih merdeka, mengapa bangsa kita hepi-hepi saja terjebak siklus budak-jongos-priyayi?” Tanya Boja lagi.

“Dalam ekosistem kapital semua ada harganya, harga membeli nilai. Termasuk ideologi dan nilai-nilai ketuhanan. Ketuhanan maksudku di sini berarti yang agak-agak tuhan, tetapi jelas bukan Tuhan. Relasi dan siklus budak-jongos-priyayi dalam bingkai apapun di zaman sekarang pasti melibatkan transaksi kapital. Kelebihan kapitalisme, terukur dan tertakar harganya. Bisa tawar menawar sampai harga pas. Kapitalisme punya faktor koreksi alami, di titik jenuh tertentu harga terkoreksi sesuai nilai sebenarnya. Setelah terkoreksi kembali lagi mengulang dari nol. Bukan masalah kalau semua yang dikapitalisasi tidak berhingga, mengimbangi kebodohan kita yang juga tanpa batas. Kiamat cukup dengan itu saja, tidak perlu menunggu kemunculan tokoh akhir zaman untuk tahu daya dukung lingkungan dan tatanan sosial kemasyarakatan sudah habis.

Hal-hal abstrak, semisal cinta, kesalehan, kekuasaan, keindahan, ideologi, kebahagiaan, kepuasan, kenikmatan dan lain-lain, sekarang ada label harganya. Kelebihan lain kapitalisme dan pasar bebas, semua orang punya peluang mengumpulkan dan menumpuk kapital, asal mau ikut sengit berkompetisi, saling injak dan sikut tidak peduli budak, jongos, atau priyayi. Menumpuk sebanyak mungkin berlipat-lipat dari kebutuhan. Semua orang berhak dan bisa menjadi priyayi. Sayangnya, keahlian manajerial dengan dukungan kapital belum bisa menggantikan manusia yang memang dilahirkan sebagai pemimpin. Jendral Besar Soedirman itu guru sekolah Muallimin Muhammadiyah yang angkat senjata bergerilya, memimpin pasukan TKR cikal bakal TNI sekarang. Kalau mentalnya mental direktur priyayi pasti cuti sakit dan mengeluhkan tanggung jawabnya di ruang publik, Pak Dirman tidak, keluar masuk hutan bersama pasukannya dengan satu paru-paru. Kalau ada yang bisa memutuskan lingkaran setan budak-jongos-priyayi di negeri kita, orang seperti Pak Dirman. Bukan satu, tetapi banyak, tidak kurang dari jumlah pulau di Nusantara. Sekian banyak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada sekarang, usia kemerdekaan lewat setengah abad, tetapi menemukan kembali satu orang yang berkarakter Pak Dirman begitu sulit. Kau tahu mengapa?” Tanya suamiku memancing jawaban Boja.

Andai nasi yang kutanak belum matang, ingin duduk sebentar bersama mereka, bercerita tentang yang kurasakan saat berlebaran belasan tahun silam ke rumah ibu Depu dari Mandar, guru suamiku semasa bersekolah di SMP Nasional. Beberapa orang memang memiliki ketulusan yang begitu besar hingga memancar dan menerangi sekitar, meneduhkan hatiku yang baru pertama kali bertemu ibu Depu. Bagaimana dengan Bapak dan kawan-kawannya setiap hari diajar beliau? Kalau saja guru-guru sekarang banyak yang masih seperti ibu Depu, tidak sulit mencari Pak Dirman baru.

“Belum lahir waktu Pak Dirman angkat senjata.” Jawab Boja bercanda, tidak ingin suamiku terlalu bersemangat, lupa tekanan darah tingginya.

“Manusia kehilangan harmoni, bukan hanya di Indonesia.” Kata suamiku tetap serius.

“Gedungnya sampai pernah dijadikan bioskop sama sekertaris Dewan Kesenian Makassar,” ledek Boja.

“Eh! Gedung Societet de Harmonie yang depan RRI itu aku ubah jadi Bioskop DKM karena sedih melihat teman-teman mengemis anggaran kegiatan kesenian, selalu pulang dengan tangan hampa. Berkat itu, kegiatan kesenian meriah kembali.”

“Harmoni apa maksud Bapak?”

“Melukis itu apa, kalau bukan harmoni antara banyak hal? Bergerak seolah acak sebenarnya keteraturan dalam satu semangat dan ruh. Istriku walau SD tidak tamat, karena pernah mengenal sekolah yang memanusiakan manusia, bukan mengasetkan manusia, mampu mengimbangiku. Tidak usah banyak keharmonisan kalau ingin melahirkan Pak Dirman baru, cukup contoh dan teladan, harmoni dari pemimpin yang mengerjakan sesuai yang ia katakan, atau sebaliknya mengatakan apa yang ia kerjakan. Satu itu saja dulu. Reformasi yang pernah aku harapkan mengobati kekecewaan, hanya berganti orang tanpa berganti karakter, dulu kamu, sekarang giliranku. Masih siklus dan sirkus keserakahan dan kapitalisme yang mengalir di antara budak-jongos-priyayi, berkompetisi dalam sistem demokrasi dengan pemodal dan kepentingannya masing-masing. Kapitalisme bertahan sampai sekarang, karena masih sistem tercocok, terlama yang pernah dipakai manusia karena sifat uang dan materi sama seperti energi, bisa dialirkan dan diubah bentuknya. Mungkin dengan menambahkan kembali nilai bukan cuma harga, kebodohan dan keserakahan bisa dihilangkan, misalnya dalam siklus produksi barang-barang bernilai ekonomis selama ini hanya ada distribusi laba dan keuntungan, kita tambahkan nilai yang tadinya dihilangkan. Produsen buku tulis dan cetak menulis di setiap buku yang ia buat, buku ini menghabiskan sekian batang pohon, sekian liter air, bahan bakar dan lain-lain, dan mereka telah melakukan kompensasi sekian persen untuk menebusnya, butuh bantuan pembeli bukunya menutup defisit konservasi. Pembeli buku selain bisa membantu konservasi, juga bisa berbagi pengalaman dan pencerahan yang ia dapatkan lewat buku yang dibelinya. Tetapi, too good to be true! Berbagi, sifat alami manusia yang sudah lama hilang, digantikan keserakahan menumpuk ingin miliki semua seolah akan hidup selamanya. Syukurnya, hukum alam atau sunnatullah sudah sempurna sebab-akibat dan konsekuensinya, tidak ada gunanya khawatir, apa lagi sampai marah-marah sendiri.”

“Kalaupun siklus kapital dalam relasi budak-jongos-priyayi tidak bisa diputuskan, karena kita semua terlanjur demikian, ide bapak menambahkan nilai, yang tadinya cuma distribusi kapital, jadi distribusi nilai dan manfaat non-kapital, cukup masuk akal. Merdeka pun secara faktual bukan melepaskan diri dari kerangkeng, tetapi bebas memilih mau terkurung dalam kerangkeng yang seperti apa. Bapak jangan pesimistis, banyak alasan untuk optimistis. Contohnya Bapak sendiri. Pernah ikut LAPRIS, menolak mendaftarkan diri saat semua eks laskar pelajar otomatis jadi tentara resmi republik, lebih memilih jadi seniman. Kemudian saat pensiun melukis dengan kanvas kewalahan mengasapi dapur, kepingin dapat pesangon veteran, sekarang tidak pernah diurus lagi tunjangan veterannya, ingin dimakamkan di pemakaman umum. Perubahan sikap Bapak, contoh kalau masih ada orang yang mau memegang nilai yang tak terbeli walau pernah tergoda ingin menjualnya, dan saya bukan satu-satunya orang yang belajar dari sikap Bapak.”

“Beri penjelasan tambahan untuk lukisanmu, di balik ilalang yang terbakar, ada api yang lebih besar lagi, tidak tampak karena belum terlukiskan. Perjalanan menempuh pilihan hidup itu pasang surut yang tak hanya sekali. Bukan hanya jalan setapak penuh lumpur, jalan tol beraspal mulus yang dilewati sambil menumpang sedan buatan Eropa, lumpur dan kobaran apinya pindah ke dalam diri.”

“Tadi Bapak menyebut karakter Jenderal Soedirman dibutuhkan untuk memutus lingkaran setan mental budak-jongos-priyayi yang berada di semua bidang, kalau diperas menjadi satu nilai yang konkrit, berupa apa?”

“Kejujuran.”

“Bagaimana kejujuran bisa memutuskan warisan tiga setengah abad? Berapa waktu yang dibutuhkan?”

“Cakupannya malah lebih besar dari sebuah bangsa yang pernah terjajah, meliputi dunia dan akhirat. Kuberi satu sebab, sisanya kau cari sendiri, mengapa nilai-nilai kejujuran yang menjadi harapan terakhirku, bukan agama secara eksplisit, karena kita berbohong di semua aspek kehidupan berupa topeng, ucapan, perilaku sampai ke hal-hal yang berbau agama, aku yang muslim sudah berbohong sejak rukun Islam yang pertama, bersaksi Allah tuhanku, dan Muhammad rasul-Nya, tetapi takut meninggalkan dunia sebelum memastikan anak-anakku tidak kelaparan, padahal setiap makhluk hidup yang terlahir ke dunia dijamin Allah rezeki, kita sisa mencari. Katanya Muhammad rasulku, tetapi belum bisa seperti Beliau dalam memandang rezeki, yang kalau berdoa cukup untuk rezeki dari hasil usahanya hari ini saja, besok ya besok. Itu baru satu rukun, belum rukun-rukun lainnya yang otomatis rusak kalau rukun pertama rusak. Salat, zakat, puasa, dan haji semua membawa syahadat di dalamnya.

Saat ini aku menganggap hanya ilmu pengetahuan bidang yang tidak tersentuh kebohongan. Lepas dari semua hal di dunia bermata dua, selain membawa manfaat juga membawa masalah baru, begitu pun dengan ilmu pengetahuan, juga lepas dari penelitian yang hasilnya diarahkan sesuai dengan kepentingan pemodal.

Namun, sejak dahulu ilmu pengetahuan tetap bergerak maju, tetap menawarkan beragam solusi dari masalah teknis yang dihadapi umat manusia. Ilmu pengetahuan memang tidak berdaya ketika berhadapan dengan masalah non-teknis seperti kemanusiaan dan manusia, tetapi nilai kejujuran yang dipegang ilmuwan lewat prinsip ‘boleh salah bahkan kalau perlu harus salah supaya belajar, tetapi tidak boleh berbohong’ bisa mengatasi masalah non-teknis. Dengan kejujuran, manusia akan memandang dirinya dan manusia lain tanpa kaca mata lampiran kepentingan dan keinginan yang selalu membuat persoalan sebenarnya tidak terlihat jelas. Karena memandang siapa, rasku, ideologiku, investasiku, pengorbananku, golonganku, bangsaku, agamaku yang harus mendapat penghargaan. Gelar juaranya untuk siapa jadi lebih penting ketimbang menyelesaikan masalah yang dibatasi waktu. Berapa lama waktu yang dibutuhkan kejujuran? Tidak ketahuan sampai kita mulai jujur.”

“Makan siang dulu, mumpung masih panas. Seadanya saja.” Kataku memanggil bapak dan Boja dari dalam. Sengaja tidak memberi Boja kesempatan membalas jawaban Bapak, atau obrolan mereka memanjang sampai sore.

Aku bersyukur setelah penyair Husni, penyair Muhary, sekarang ada Boja membantu menampung kegelisahan Bapak, yang kalau ditumpahkan kepadaku, hanya bisa kudengarkan tanpa memberikan tanggapan berarti.

Bertiga kami makan dengan lahap. Lauknya sayur kangkung, tempe goreng, sambel tumis, dan acar mangga muda.

“Dari sini mau ke mana?” Tanya suamiku sehabis makan.

“Selesaikan lukisan, di rumah ada tiga lukisan yang belum selesai.”

“Subyeknya apa?”

“Bunga.”

“Bunga apa pun boleh, asal jangan Mawar, dia istriku.” Seloroh suamiku. “Makan siang kita nikmat sekali, terima kasih istriku.” Tambahnya.

Boja tidak menjawab mau melukis bunga apa, ia kembali kebingungan melihat kemesraan kami yang tak kenal waktu dan tempat di usia yang tak muda lagi.

Bapak permisi istirahat siang, aku ingin menemaninya tidur, dan Boja pun pamit.

🌹 Dukung kami menuntaskan kisah hidup Ros Magdalena via trakteer atau buy me a coffee.

Baca Juga.

Hati 2

Bab #6.2. Upacara Kecil 17an

Tentara tidak pernah pensiun, gelar purnawirawan hanya menandakan tuntasnya pengabdian seorang tentara di dalam rantai komando organisasi ketentaraan. Suamiku bukan

Img 20191202 184105 509 Animation

BAB #4 Sehidoep Semati

Adi mengajak ikut ke Makassar menemui orang tuanya, lalu menikah di sana. Memang aku duluan yang meminta ikut bersamanya ke

Img 20201116 080237 468 Edited 2

BAB #5 Kampoeng Para Radja

Kemarin kami ke Kassi-Kassi, Jeneponto. Daeng Geleng orang kepercayaan bapak semasa bekerja dan tinggal di sana, meninggal dunia pukul 3

Inferior

BAB #7 Surat Panjang Sahabat

Anak-anak kecil di Makassar sebelum berkelahi, biasanya debat kusir dulu. Satu kalimat kunci menangkan perdebatan, sesiapa lebih dahulu menyebut pasti