Suamiku menikmati sajian konser dangdut di layar televisi tua yang mulai rusak, sebagian layarnya berwarna, setengah lagi hitam dan putih. Aku tersenyum memandang tungkainya bergoyang kecil, mengikuti kecipak ketipung gendang.
Sejak memutuskan istirahat dari dunia kesenian, Bapak hampir tidak pernah keluar rumah. Sesekali seniman-seniman muda berkunjung, bercanda menghibur, meminta masukan perkembangan dan intrik organisasi kesenian dengan orang-orangnya. Hanya satu dua yang datang membawa karya, meminta pendapat dan berdiskusi dengan Bapak.
Biasanya tengah malam begini, kami sedang berbincang di atas ranjang, berlatih bagaimana meneruskan hidup saat seorang dari kami meninggalkan dunia lebih dahulu.
“Kehilangan kawan yang puluhan tahun menemani hidup, jelas butuh latihan.” Jawab suamiku ketika kutanya, mengapa sebulan terakhir ia tidak bosan, mengulangi urutan langkah yang harus aku ambil kalau ia duluan meninggal dunia.
“Kalau aku yang lebih dulu pergi? Bapak sudah latihan?” Tanyaku.
“Latihan? Saya tidak pernah siap kehilanganmu.” Gumam suamiku sambil terpejam.
“Keharusan tidak pernah menunggu kesiapan. Gombal.” Jawabku tersenyum menanggapi.
“Tetap terasa manis saat membuatmu tersenyum.”
“Aku mau tidur lagi, nanti subuh harus mencuci baju.” Jawabku sebelum melanjutkan tidur, menatap suamiku yang kembali terlelap.
Sejak aku memasuki usia enam puluhan dan suamiku tujuh puluhan, kami tidak pernah lagi tidur di atas pukul sepuluh malam. Hampir tiap tengah malam terjaga, berbincang sebentar, lalu tidur lagi.
Malam ini tidak begitu. Saat terjaga bersama, ia mencuci muka lalu menyalakan televisi. Aku mengambil wudhu, salat sunat dua rakaat kemudian menemaninya di ruang tengah. Putri bungsu kami memutuskan bekerja, aku dan suamiku sedang menunggunya pulang pukul dua pagi. Ini hari pertama putri kami bekerja sebagai pramuria.
Serapi mungkin, mengatur rencana agar saat dia pulang tak ketahuan tetangga, kalaupun ketahuan sudah aku siapkan pembelaan dan aneka skenario untuk setiap kemungkinan. Bagaimana pun suamiku seorang seniman ternama, seorang veteran pejuang kemerdekaan, guru dan panutan bagi banyak orang. Dan tetangga, sebagaimana sebagian besar manusia, suka menuntut sosok panutan harus sempurna di semua sisi, dan mudah menghakimi kesalahan dan keburukan orang lain demi merasa lebih baik. Padahal belum saatnya saja melakukan hal yang sama, karena menjadikan kesalahan orang lain olok-olok. Memandang pekerjaan pramuria sama dengan pelacur. Menganggap mencuri, menipu rakyat, berjudi, togel, dagang sabu, korupsi, dan mengemis lebih mulia ketimbang bekerja menjual jasa menemani tamu-tamu di tempat hiburan malam bernyanyi.
Aku sedang di puncak kecemasan saat terdengar suara salam dan ketukan keras dari pintu ruang tamu, kalau-kalau profesi putriku ketahuan tetangga sebelum sebab sebenarnya diketahui. “Jangan-jangan pak RT.” Tebakku dengan suara bergetar. Pak RT pernah menutup rumah kos di lingkungan kami, karena sebagian penghuninya bekerja sebagai wanita penghibur.
“Apa urusannya? Biar kubuka.” Bantah suamiku.
“Buka setengah, aku enggan ketahuan tetangga belum tidur jam segini.” Ada banyak alasan mengapa ingin dianggap jadwal tidurku normal seperti ibu-ibu lain di sekitar kami.
“Siapa?” Tanya suamiku tegas sebelum melangkah ke pintu ruang tamu.
“Salamku belum dijawab.” Sahut suara lelaki cadel dan serak dari luar.
Kami belum menyahut, berusaha menebak siapa yang bertamu malam-malam. Aku khawatir kalau yang barusan mengetuk pintu, pemabuk dari lingkungan belakang rumah kami.
Rumah kami berada di tengah lingkungan yang bertolak belakang. Jalan besar depan gang berderet rumah para saudagar, ilmuwan, akademisi, ulama, politisi, polisi, tentara, pegawai negeri, bangsawan dan hartawan. Di belakang, yang dahulu bekas rawa penampung luapan banjir saat air menerjang kota Makassar, kini pemukiman padat dengan aneka penghuni dari berbagai profesi, guru mengaji sampai bramacorah, ada.
Sepuluh tahun terakhir, pintu rumah kami tidak lagi terbuka 24 jam bagi kawan-kawan suamiku dan teman anak-anak kami. Masing-masing sibuk dengan keluarga dan hidupnya, sebagaimana sibuknya aku dan suamiku persiapkan terbenamnya senja.
“Orang di luar itu sedang mabuk berat, lidahnya kelu. Lebih baik jangan buka pintu,” bisikku ke telinga suamiku. “Kita sudah tua, tidak kuat lagi menghadapi orang jahat.” Tambahku, mengingat suamiku pernah persilahkan maling turun dari atap rumah, agar masuk baik-baik lewat pintu depan dan menyampaikan keperluannya. “Saya kenal suara orang yang mengetuk pintu.” Jawab suamiku.
“Saya pamit pulang. Maaf sudah mengganggu.” Kata suara itu lagi.
“Waalaikuumsalam. Masuklah, rumah ini selalu terbuka untukmu.” Kata suamiku membuka pintu lebar-lebar, setelah memastikan siapa pemabuk yang bertamu lewat tengah malam.
“Saya mau menumpang tidur di ruang tamu Bapak, seperti dulu. Malam ini saja. Sebelum subuh berangkat lagi.” Kata Boja, pemuda yang pernah belajar melukis pada Bapak. Aku juga akrab dengannya, rumah kami pernah menjadi rumah keduanya
“Apa saya pernah menolakmu? Tetapi, malam ini ada syarat khusus.”
“Jangan berat-berat, kepalaku sudah berat, tidak mengira persoalan yang baru kuselesaikan berhasil memaksaku kembali mabuk, membersihkan remah-remah yang sebesar persoalannya. Saya punya ongkos menginap dua malam di hotel, tetapi ke sini. Tahunan tidak berkunjung sejak istirahat melukis, dan kupikir Bapak lebih butuh uang itu.”
“Simpan uangmu. Besok kalau sadar kau berikan ke istriku Ros. Khusus malam ini, berusahalah tetap mabuk, pandanganmu berkunang-kunang dan kupingmu pekak, tidak menyadari apa pun yang akan terjadi di sini.”
“Saya cuma mau meluruskan badan, tidur, tidak mau tahu yang lain. Permisi dan mohon maaf, kantukku tak tertahankan.” Jawabnya sembari meluruskan badan, mendengkur di kursi ruang tamu kami.
Aku mengambilkan kain sarung dari jemuran menutupi kakinya dari gigitan nyamuk dan dinginnya malam, sebelum melanjutkan cemas, semoga kepulangan putri kami dari tempat kerjanya tidak terlihat siapa pun.
Kedatangan Boja bukan bagian dari kecemasanku, kehadirannya membuat kami lebih tenang. Bagi kami, kedatangannya yang tiba-tiba setelah sekian tahun tidak berkunjung, bukan kebetulan belaka. Bagian dari gambar lebih besar, yang aku dan suamiku juga belum tahu bagaimana bentuknya.
“Apa yang memaksa Boja kembali membungkam pikiran dan perasaannya?” Kataku menatap wajah Boja yang memerah.
“Bisa juga siapa. Boja masih muda, masih banyak kepahitan hidup yang menantinya. Saya mau menunggu anak kita di simpang, lebih baik kalau dia bersamaku berjalan pulang.” Jawab suamiku sebelum keluar dan menutup pintu ruang tamu.
Aku kembali ke ruang tengah, di televisi konser dangdut menyelesaikan lagu terakhir. Lagu yang berhasil mengajak pikiran dan perasaanku kembali ke masa silam.
Semasa gadis, aku pramuria tempat hiburan malam di kawasan pelabuhan Buleleng. Setiap pulang bekerja, dinginnya dinding kamar kontrakan menyambut, tidak ada apa-apa dan tanpa siapa-siapa.
“Tante Ros menangis?” Tahu-tahu Boja sudah berdiri di ruang tengah, menatap lekat pipiku yang basah.
“Benar kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.” Jawabku setenang mungkin.
“Kalau pohonnya tumbuh di tebing terjal?” Jawabnya enteng.
Aku tahu, ia berusaha menghiburku. “Tidurlah kembali. Besok kita pindahkan pohonnya ke tepi laut.”
“Terbangun ingat mau berangkat kembali ke Palu dengan pesawat pertama. Sebelum subuh harus melapor di bandara, nanti sambung tidur di pesawat. Saya ada rezeki sedikit untuk tante Ros, tolong diterima.” Kata Boja mengangsurkan amplop kepadaku.
“Terima kasih. Yakin tidak mau kembali tidur?” Tanyaku setengah memaksa, tidak ingin ia melihat putriku pulang pagi buta, yang kupastikan dalam keadaan mabuk. Belum ada pramuria di hari pertama bekerja dibiarkan tamu dan kawan-kawan kerjanya pulang dalam keadaan sadar.
“Takut bangun kesiangan.” Jawabnya.
“Mau minum kopi?”
“Terima kasih tante Ros. Kepalaku sudah berhenti berdenyut, nanti di bandara saja.”
“Tolong. Saat adikmu pulang sebentar, jangan menatapnya dengan tatapan aneh.”
“Aneh bagaimana? Semua anak, sampai cucu tante Ros dan Bapak kuanggap adik.”
“Itu yang aku khawatirkan, pandangan kakak pada adiknya.”
“Tadi sempat mampir di bar tempatnya bekerja. Saya pindah ke tempat lain, sebelum membuatnya malu. Bukan begitu seharusnya seorang kakak? Besok saya tidak sempat lagi ikut menjaganya. Memang lebih baik saya pura-pura tidur.”
“Terima kasih.”
Tidak lama kemudian suamiku pulang, merangkul putri kami yang sempoyongan. Boja mengintip dari balik kain sarung, menatap suamiku yang terlihat lebih tua saat mengulum kepedihan.
Setelah putriku masuk ke dalam kamarnya, Boja memesan taksi kemudian pamit.
“Kapan lagi kau ke sini?” Tanya suamiku.
“Setelah Bapak, tante Ros, dan saya, bisa berbincang tanpa air mata.”